Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- World Health Organization (WHO), mendefiniskan empat kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan memiliki jiwa sehat.
Pertama, seseorang dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan dirinya atau mengetahui potensi diri.
Kedua, seseorang mampu mengatasi konflik dalam hidupnya.
Tidak jadi persoalan jika tidak bisa menyelesaikan masalah secara langsung, namun yang bersangkutan mempunyai kesadaraan akan dirinya, mampu atau tidak menyelesaikan masalah itu.
Jika tidak bisa maka dia akan meminta tolong kepada orang lain. Jika seseorang dapat berlaku seperti itu, maka dia mempunyai jiwa yang sehat.
Baca juga: Bisa Meghambat Kemajuan Karier, Apa Itu Pola Pikir Scarcity Mentality?
Baca juga: 5 Kegiatan yang Bisa Dilakukan untuk Menjaga Kesehatan Mental Selama Pandemi
Ketiga adalah ketika yang bersangkutan dapat berlaku produktif, dimana bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Serta yang terakhir mempunyai peran aktif dalam komunitas atau lingkugannya.
Dokter spesialis kesehatan jiwa dari RSA UGM, dr. Tika Prasetiawati menuturkan, jka satu dari kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka orang tersebut bisa dikategorikan (sebagai) orang dengan masalah kejiwaan atau orang dengan gangguan jiwa.
"Jadi empat komponen itu harus terpenuhi semua,” tutur dokter Tika dikutip dari webinar World Mental Health Day yang diadakan rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada (UGM)
Untuk itu penting memahami konsep kesehatan jiwa.
Orang dengan masalah kejiwaan berbeda dengan orang dengan gangguan jiwa.
Tika menjelaskan, orang dengan masalah kejiwaan adalah orang yang sedang berada dalam kondisi rentan mengalami gangguan jiwa.
Misalnya adalah orang-orang yang mengalami penyakit kronis (kesembuhan penyakitnya lama), dimana dia rentan mengalami depresi, cemas, dan stres karena penyakitnya.
Baca juga: 7 Manfaat Durian bagi Kesehatan Tubuh, Bisa Menangkal Depresi Secara Alami
Contoh lainnya adalah orang-orang yang baru mendapatkan musibah seperti kebakaran, bercerai, orang yang terkena PHK, dan lain sebagainya.
Sementara orang dengan gangguan jiwa adalah orang-orang yang memiliki gangguan pada fungsi pikir, perasaan serta perilakunya.
Orang yang sedang mengalami gangguan jiwa ini dapat ditandai dengan kondisi penurunan kualitas hidup yang bersangkutan.
Contohnya jika seseorang yang tengah mengalami perasaan sedih. Setiap orang bisa dan berhak untuk merasa sedih.
Namun, ketika perasaan sedih tersebut sampai menghambat yang bersangkutan melaksanakan aktivitas sehari-hari, seperti makan dan lain sebagainya, maka orang tersebut tengah mengalami gangguan jiwa.
“Begitu juga dengan orang cemas karena kecemasan seorang ibu tidak bisa pergi belanja untuk memenuhi kebutuhannya kepasar karena cemas atau takut sama orang. Nah kalau keadaan tersebut dialami dan sudah mengurangi kualitas hidup, itu dikatakan gangguan jiwa,” jelas dokter Tika.
**Beda orang dengan gangguan jiwa dan "orang gila"**
Dokter Tika menegaskan bahwa penyebutan orang gila tersebut adalah salah. Istilah itu tidak ada dalam ilmu kesehatan jiwa.
Orang yang disebut masyarakat sebagai orang gila ini benarnya disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa berat.
Misalnya orang dengan skizofrenia, dimana ia tidak bisa membedakan antara fungsi berfikirnya dengan kenyataan yang ada.
“Jadi tidak ada istilahnya gangguan jiwa ‘gila’ itu. Tidak ada namanya gangguan jiwa ‘gila’, jadi istilah orang gila itu tidak digunakan,” tegasnya Tika.
Selama ini penggunaan sebutan tersebut menimbulkan stigma negatif kepada yang bersangkutan dan menjadikan mereka dijauhi oleh orang-orang.
“Istilah benarnya bisa (dengan) orang dalam gangguan jiwa, atau disabilitas mental atau psiko-sosial, itu kan lebih enak didengar dibandingkan menyebut ‘orang gila’,“ tambah dokter Tika.