Harvey Moeis diketahui merupakan pemegang saham PT Refined Bangka Tin (PT RBT).
Ia diduga berperan mengkoordinir sejumlah perusahaan terkait penambangan timah liar di Bangka Belitung dengan kedok sewa-menyewa peralatan dan processing peleburan timah.
Perusaan tersebut adalah PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN.
"Kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut akhirnya dicover dengan kegiatan sewa-menyewa peralatan dan processing peleburan timah yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, SV VIP, PT SBS, dan PT TIN untuk dipercepat dalam kegiatan dimaksud," jelas Kuntadi, Rabu.
Namun, sebelumnya, Harvey Moeis terlebih dulu berkoordinasi dengan petinggi perusahaan negara, PT Timah, sebagai pemilik IUP.
Petinggi itu adalah mantan Direktur Utama PT Timah, M Riza Pahlevi, yang sebelumnya juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
"Sekitar tahun 2018 dan 2019, saudara tersangka HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah, saudara MRPT atau saudara RS alias MS dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah," tutur Kuntadi.
Baca juga: Momen Sandra Dewi Dibuat Mengaduh oleh Harvey Moeis
Usai kegiatan penambangan liar, Harvey Moeis meminta enam perusahaan yang disebutkan sebelulmnya, untuk menyisihkan sebagian keuntungannya.
Sebagian keutungan itu mengalir ke Corporate Social Responsible (CSR) PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang manajernya adalah crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim.
Helena Lim sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka lebih dulu ketimbang Harvey Moeis.
"Atas kegiatan tersebut, maka selanjutnya saudara HM ini meminta para smelter untuk menyisikan sebagian dari keuntungannya diserahkan kepada yang bersangkutan dengan partner pembayaran dana CSR yang dikirm para pengusaha smelter ini kepada HM melalui PT QSE yang difasilitasi oleh terasangka HLN," terang Kuntadi.
Tersangka ke-16
Harvey Moeis menjadi tersangka ke-16 dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun.
Namun, Kejagung memperkirakan nilai kerugian itu terus bertambah.
Lantaran, total Rp271 triliun yang baru dihitung tersebut baru kerugian ekonomi, belum ditambah kerugian keuangan.