TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keinginan mulia dan harapan besar akan terwujudnya kembali wadah tunggal equestrian di tanah air tampaknya hanya akan berbatas wacana atau angan-angan.
Realisasi dari kemungkinan penyatuan kembali komunitas berkuda ketangkasan di Indonesia ibarat jauh panggang dari api karena masih adanya tekanan-tekanan dari sebagian pihak yang pada intinya seperti tidak menghendaki kebersamaan tersebut terjalin kembali.
Karena itu pula, rencana pergelaran kegiatan bersama antara Equestrian Indonesia atau EQINA dengan Equestrian Federation of Indonesia (EFI) dibatalkan atau ditiadakan.
Untuk itu, EQINA akan tetap menggelar seri kejuaraan nasionalnya sebagaimana tahun silam, melibatkan atlet-atlet dari mayoritas masyarakat equestrian di tanah air. Ada harapan bahwa kalender kegiatan bersama adalah awal yang baik untuk merangkai kembali klub-klub equestrian yang terbelah.
"Kami tetap on the track, keputusan ini didukung oleh seluruh klub yang diwadahi oleh EQINA," jelas Ketua Umum EQINA Jose Rizal Partokusumo dalam keterangan khususnya Rabu (12/2/2014) petang.
Jose Rizal Partokusumo menyatakan, EQINA tidak dapat memahami persyaratan yang diminta EFI untuk terealisasikannya kegiatan bersama tersebut. Yakni, EQINA harus membubarkan diri sebagai sebuah organisasi, dan bagaimana EQINA harus 'menuntut' kepada PP Pordasi agar mencabut gugatan bandingnya ke Pengadilan Arbitrase Internasional (CAS/Court of Arbitration for Sports), menyusul penolakan gugatan PP Pordasi oleh Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI).
Seperti diketahui, PP Pordasi menggugat Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pimpinan Rita Subowo atas campur tangan unsur pimpinan KOI terkait hilangnya hak perwakilan federasi nasional equestrian dari Federasi Equestrian Internasional (FEI).
"Dua persyaratan itu tidak mungkin kami lakukan, apalagi membubarkan EQINA yang sudah menjadi wadah dari mayoritas komunitas equestrian di tanah air," tegas Jose Rizal.
Terkait dengan pencabutan gugatan banding Pordasi ke CAS, Jose menyebutkan, itu sepenuhnya hak PP Pordasi.
"EQINA memang diwadahi oleh PP Pordasi, tetapi tetap ada independensi diantara kami, masing-masing punya AD/ART," jelas Jose Rizal Partokusumo.
Sehubungan dengan kepastian dibatalkannya kegiatan bersama antara EQINA dan EFI tersebut, Jose Rizal Partokusumo meminta pengertian dari berbagai pihak terkait, termasuk Ketua Satlak Prima Mayjen (Pur) Suwarno yang sejak awal mengetahui rencana kegiatan bersama equestrian tersebut.
"Hormat saya juga kepada pak Marciano selaku pembina EFI, ibu Triwatty Marciano sebagai sekjen EFI, pak Rafik Hakim Radinal selaku penasehat EFI, serta jajaran pengurus EFI lainnya yang peduli dalam membina olahraga equestrian di Indonesia," tuturnya.
KESEPAKATAN
Jose Rizal Partokusumo menjabarkan, sebelumnya sudah ada kesepakatan antara unsur pimpinan EQINA dan EFI bahwa pembinaan equestrian di Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia, insan olahraga.
Untuk itu kita bersama menyusun Agenda Kegiatan Bersama 2014, yaitu gabungan dari agenda kegiatan seluruh komunitas equestrian baik di bawah EFI selaku pemegang mandat 'National Federation' (NF), juga EQINA-Pordasi, selaku organisasi yang berafiliasi kepada Pordasi (Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia) yang anggotanya tersebar di 18 Proprinsi dan lebih dari 30 klub equestrian atau mayoritas komunitas equestrian di Indonesia.
Kesepakatan ini hampir mencapai final dan telah tersusun Agenda 2014, untuk selanjutnya akan diluncurkan dengan mendapat 'endorsement' atau persetujuan EFI selaku NF.
Namun ternyata pada akhirnya niat baik ini tidak mendapat persetujuan dari sebagian kecil pengurus EFI yang 'de jure' memegang mandat menjalankan EFI dan yang terjadi adalah sesuatu keputusan yang kontra produktif dalam kerangka pembinaan equestrian di Indonesia.
Tidak ada satupun agenda EQINA yang mendapat endorsement atau persetujuan dari EFI, bahkan hak sebagai Warga Negara Indonesia dengan semena mena ditiadakan oleh NF, yaitu hak untuk mewakili negara untuk menjadi attlet nasional, yang secara jelas dinyatakan dalam suratnya bahwa atlet nasional untuk Pelatnas ASIAN Games 2014 maupun SEA Games 2015 hanya untuk atlet binaan EFI, yang mengikuti 'event' yang diselenggarakan oleh EFI.
Padahal, yang namanya seorang atlet ataupun juara syarat untuk mewakili negara kriterianya memiliki 'passport' atas suatu negara dan memiliki prestasi sebagai juara.
"Yang dikategorikan sebagai juara sejati adalah yang terbukti dan mampu bersaing secara sportif dengan siapapun dalam event yang terukur sesuai aturan," terang Jose Rizal.
Adalah suatu sikap diskriminatif karena menghilangkan hak atlet-atlet EQINA, yang notanbene juga jelas jelas menghilangkan hak seorang Warga Negara Indonesia.
Jose Rizal menggambarkan kembali pertemuan koordinasi pada 29 Januari 2014 di lantai 12 gedung KONI Pusat, antara Mayjen (Pur) Suwarno selaku ketua Satlak Prima serta Sekjen EFI Triwatty Marciano, penasehat EFI Rafiq Hakim Radinal, Ruminta dari bidang humas dan media EFI/Humas EFI dan ia sendiri sebagai ketum EQINA.
Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa untuk Pelatnas Asian Games 2014 dan SEA Games 2015, terkait dengan berkuda ketangkasan, seluruh potensi bangsa harus diundang untuk pencapaian prestasi di kedua 'event' tersebut.
"Pada kesempatan itu, kita semua sepakat bahwa parameternya adalah WNI dan prestasi, apalagi untuk Asian Games yang notabene persaingan untuk menjadi juara sangatlah berat," ungkap Jose. (tb)