TRIBUNNEWS, COM. JAKARTA - Indonesia akan menjadi tuan rumah dari Pesta Olahraga Antar-negara Asia (Asian Games) ke-18, yang akan diselenggarakan Desember 2018.
Jumlah cabang olahraga yang akan dipertandingkan masih akan dibahas dalam pertemuan-pertemuan Komite Olimpiade Asia (OCA), perwakilan dari 45 negara anggota OCA, serta representasi Indonesia sebagai tuan rumah yang dalam hal ini adalah Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Dalam penetapan cabor untuk Asian Games XVIII/2018 tersebut, tentu saja Indonesia berkepentingan untuk memasukkan sebanyak mungkin cabor yang potensial menjadi tambang medali bagi kontingen tuan rumah, misalnya perahu naga.
Pada Asian Games XVII/2014, Incheon, diberangkatkan sebanyak 183 atlet dari 22 cabor dengan probabilitas medali 9 emas, 24 perak dan 24 perunggu. Namun, kontingen Indonesia hanya meraih 4-5-11 set medali.
Dari 22 cabor itu, hanya dua target medalinya tercapai, yakni bulutangkis dan wushu. Sisanya, 20 cabor, tidak tercapai. Termasuk, equestrian, yang hanya meraih 1 perunggu dari target 1 emas dan 2 perunggu.
Untuk perlombaan disiplin berkuda equestrian Asian Games XVIII/2018, Indonesia mengharapkan bisa mementaskan lebih banyak kelas dibanding Asian Games XVII/2014. Kelas-kelas yang dipentaskan,dari nomor tunggang serasi (dressage) dan lompat rintangan (show jumping).
Kendati demikian, ada permasalahan menyangkut 'venues' atau arena kompetisi dari equestrian itu sendiri. Di mana akan dipentaskan? Ada usulan, dibangun 'venues' baru dengan perkiraan biaya mencapai beberapa miliar rupiah.
Namun, usulan tersebut tampaknya sulit direalisasikan karena berpotensi terjadinya 'penggelembungan' dana sementara pemerintah sudah memastikan untuk meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dana terkait keperluan Asian Games XVIII/2018 tersebut.
Apalagi, sudah diisyaratkan kemungkinan ditiadakannya pembangunan 'venues' baru. Dengan mempertimbangkan adanya beberapa 'venues' yang bisa memenuhi persyaratan, wacana pembangunan 'venues' baru untuk pentas equestrian Asian Games XVIII/2018 juga bisa dimentahkan.
Saat ini ada beberapa alternatif 'venues' equestrian yang dapat dimanfaatkan, dengan kewajiban dilakukannya penyempurnaan. Misalnya, Arthayasa Stable di kawasan Ciganjur, Depok. Lalu, Pegasus Stable di desa Kinasih, Sukabumi.
Selain itu, ada Detasemen Kavaleri Berkuda (Denkavkud) di Parompong, Jabar. Dan, Adria Pratama Mulya (APM) Equestrian Centre di kawasan Tigaraksa, Tangerang. A
rthayasa pernah dimanfaatkan untuk pentas equestrian SEA Games 2011. Akan tetapi, untuk Asian Games, perlu dilakukan penyempurnaan sarana pendukung, termasuk keberadaan media-centre.
Pegasus, Denkavkud, dan APM Equestrian Centre juga tidak memiliki media-centre. Padahal, keberadaan 'media centre' untuk memaksimalkan kinerja awak media di masa kini sudah wajib hukumnya, apalagi equestrian sudah semakin berkembang. Media-centre harus dilengkapi berbagai fasilitas penunjang, termasuk ruangan untuk wawancara atlet, pelatih atau sponsor.
"Saya tidak setuju kalau harus dibangun venues baru, optimalkan saja sarana yang sudah ada," ujar Bibit Sucipto, pembina equestrian dari Pegasus.
Nadia Marciano Gaffar punya usulan berbeda. Pewaris APM Equestrian Centre & Boarding School ini justru merasa kurang sreg jika pentas equestrian Asian Games XVIII/2018 digelar di beberapa 'venues' yang saat ini sudah ada, termasuk APM.
"Kalau Arthayasa, Pegasus, atau APM itu khan milik perorangan. Kalau memang harus dilaksanakan pada sarana yang sudah tersedia, saya lebih setuju kalau alternatif utamanya adalah Denkavkud, Parompong. Fasilitas berkuda di Denkavkud itu milik negara, sehingga pertanggung-jawabannya lebih jelas," papar Nadia Marciano Gaffar, putri dari Triwatty Marciano yang pendiri APM Equestrian Centre & Boarding School.
Nadia juga usulan lain. Dengan mempertimbangkan pentas berkuda equestrian Asian Games XVIII/2018 itu digelar di Jakarta, ia lebih setuju jika tempat perlombaannya dilaksanakan di tengah-tengah kota sehingga mudah diakses masyarakat. Misalnya, di salah satu sudut Monas. Bagaimana caranya?
"Tempat perlombaannya dibuat secara knock-down, lengkap dengan beberapa fasilitas pendukung, termasuk untuk pekerja media," tutur Nadia.
Di luar negeri, tempat pementasan equestrian dengan sistem 'knock-down' itu sudah lazim. Menurut Nadia, biaya yang diperlukan untuk pementasan 'in-door' atau 'out-door' di tengah kota seperti itu jauh lebih ringan dibanding membuat venues baru.
"Venues-venues equestrian yang ada sekarang ini semuanya relatif masih agak sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Saya pribadi mengharapkan adanya perlombaan equestrian yang berada di episentrum, di tengah kota, sehingga bisa disaksikan oleh masyarakat luas," ungkap sarjana Administrasi Berkuda dari satu perguruan tinggi di AS itu. (tb)