Laporan Wartawan SuperBall.id, Adina Fitra
TRIBUNNEWS.COM, RIO DE JANEIRO - Brasil telah mencatatkan sejarah bagi beberapa negara yang mengikuti kompetisi olahraga dunia selama dua pekan terakhir.
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sejarah gemilang itu.
Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir adalah dua atlet yang mempersembahkan medali emas pertama ganda campuran tepat di hari kemerdekaan Indonesia.
Di balik kemeriahan itu ternyata Brasil menyimpan berbagai masalah.
Dikutip SuperBall.id dari New York Times, Rabu (24/8/2016), pekerja di setiap stadion untuk menggelar pertandingan olahraga digaji murah.
Puluhan ribu warga mengungsi dan lapangan golf yang dibangun untuk Olimpiade berdiri di atas cagar alam.
Pemerintah Brasil kesulitan mencari dana untuk menutup kerugian selama menggelar olimpiade Rio 2016.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) gagal mengantisipasi masalah-masalah itu.
IOC tidak mempunyai kewenangan untuk menuntut janji-janji perbaikan lingkungan akibat menggelar Olimpiade.
Pengamat kemanusian Roger Cohen mengkritiki secara tajam Olimpiade tersebut.
"Saya lelah dan sangat lelah membaca berita negatif tentang Olimpiade di Brasil," kata Cohen.
Cohen memulai kritikannya dari kemarah besar di daerah kumuh Brasil.
Kemudian mengarah pada kekerasan termasuk perampokan bersenjata yang dialami empat perenang Amerika.
Begitupun dengan kesenjangan perekonomian antara si kaya dan si miskin.
Lebih parah lagi tentang beredarnya doping dan meningkatnya virus Zika.
Brasil menurutnya memang berhasil menggulingkan kediktatoran.
Tapi negara Samba itu masih gagal membangun demokrasi yang baik.
Pejabat Brasil putus asa menekan pergerakan geng narkoba sebelum Olimpiade digelar.
Pihak kepolisian juga gagal menekan seperlima kekerasan di Rio de Janeiro sebelum menggelar Olimpiade.
Amnesty International Rio secara gamblang menyebut perayaan olahraga terbesar itu cenderung meningkatkan pelanggaran HAM yang sudah lama terjadi di Brasil.