TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang HeForSheRun 2020 pada Hari Perempuan Se-dunia 8 Maret mendatang di kawasan De Breeze, BSD Serpong, Tangerang, Perkumpulan Perusahaan untuk Pemberdayaan Perempuan atau Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), mendapat kabar mengembirakan. Kesetaraan gender di dunia kerja membaik.
Adalah David Solomon, Chief Executive Officer Goldman Sachs, yang menyampaikan hal itu dalam World Economic Forum di Swiss, akhir Januari lalu.
“Hasil pengamatan Sachs selama empat tahun terakhir pada perusahaan-perusahaan yang melepas saham ke publik, menunjukkan,
perusahaan-perusahaan memperlihatkan performa yang lebih baik ketika di badan pengelola tertinggi ada setidaknya satu orang perempuan ketimbang yang tidak ada sama sekali,” tutur Maya Juwita, Direktur Eksekutif IBCWE.
Seiring makin terbukti dampaknya pada performa perusahaan, dukungan perlunya keberagaman gender pada dewan tertinggi pengelola pun perusahaan menguat.
Oleh karena itu, David Solomon menyatakan pada The New York Times,?perusahaan pimpinannya mengambil langkah kebijakan tidak akan membawa sebuah perusahaan ke penawaran saham perdana publik kecuali ada sedikitnya satu kandidat keberagaman di pengelola tertinggi perusahaan, khususnya pada perempuan.
Periset dan praktisi keberagaman gender pada perusahaan menilai, apa yang disampaikan oleh David Solomon sesungguhnya sudah merupakan bentuk tanggung jawab dari perusahaan dengan kekuatan seperti Goldman Sachs.
Andreas Wilderer, penulis Lean On: The Five Pillars of Support for Women in Leadership, melontarkan komentar kritis. “Goldman Sachs
seharusnya mendorong lebih jauh dengan mengatakan bahwa kami hanya akan mendukung perusahaan yang akan membuka tawaran saham jika mereka memiliki 30 – 40 persen keberagaman gender. Ada empat perempuan dari 11 anggota Dewan Direksi di Goldman Sach, artinya 36%. Mengapa tidak menerapkan standar yang sama kepada perusahaan-perusahaan lain seperti mereka?” kata Andreas kepada HRtechnologist.com.
Peran institusi untuk menjadikan keberagaman gender sebagai norma memang sangat menentukan. Hal ini tidak lepas dari sejauh mana
komitmen institusi untuk menerapkan.
Di Indonesia
Sementara itu, di Indonesia, pengalaman Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) selama lebih dari empat tahun terakhir memberi dukungan dan asistensi untuk keberagaman gender di perusahaan membuktikan hal tersebut. “Memiliki kebijakan saja tidak cukup, perlu role model untuk mengimplementasikan,” kata Program Manager IBCWE Tedi Subagia.
Ia mencontohkan flexible working option (pilihan bekerja secara fleksibel) - yang merupakan salah satu bentuk kebijakan untuk
mendukung perempuan agar bertahan di dunia kerja, di sebuah perusahaan.
“Secara tertulis, kebijakan itu ada. Artinya sudah kuat kekuatan hukumnya sebagai sebuah peraturan. Tetapi karena tidak ada yang
mengimplementasi, bahkan di jajaran tertinggi dewan perusahaan, otomatis di tingkat yang lebih rendah tidak ada yang berani,” tambah
Tedi yang juga mendampingi perusahaan-perusahaan anggota untuk menjalani asesmen kesetaraan gender melalui perangkat Gender Equality Assessment Results and Strategies (GEARS) dan Economic Dividends for Gender Equality (EDGE).
Kekuatan komitmen untuk mengimplementasi kebijakan keberagaman gender sampai menjadi norma menjadi kunci capaian tinggi rendahnya dampak keberagaman gender di perusahaan juga sudah terafirmasi melalui sebuah riset longitudinal.