Hingga pada akhirnya, Malaysia selaku tuan rumah berhasil menyegel gelar juara Piala Thomas 1992.
"Kami tahu Malaysia adalah tim yang kuat, Cina juga kuat, tetapi mereka saja merasa tidak nyaman melawan Malaysia," ujar Rexy Mainaky seperti dikutip dari laman resmi BWF.
"Saat itu, orang Malaysia sangat fanatik dengan bulu tangkis, stadion sangat besar terlihat penuh sesak, tidak ada kursi kosong, terutama ketika Malaysia melawan Indonesia di final," kenangnya.
Baca: Ambisi Besar Ong Yew Sin/Teo Ee Yi Tembus Skuat Piala Thomas 2020
Baca: Vaksin Corona Belum Ditemukan, Piala Thomas dan Uber 2020 Terancam Dibatalkan
Rexy Mainaky yang baru tampil perdana sebenarnya mengakui tidak terlalu tertekan dalam situasi seperti itu.
Lebih lanjut, Rexy Mainaky mengungkapkan analisanya dalam setiap pertandingan yang dijalani tim Indonesia kala itu.
Ia menyadari ada beberapa pebulu tangkis tuan rumah yang sangat sulit dikalahkan ketika bermain di Kuala Lumpur.
"Kami tahu bahwa di Kuala Lumpur, terutama di sini, tidak ada yang bisa mengalahkan Rashid Sidek," ujar Rexy Mainaky.
"Ardy Wiranata yang tampil sebagai tunggal pertama sebenarnya memiliki peluang yang sangat tipis untuk mendapatkan poin melawannya," tambahnya.
"Tetapi Alan Budikusuma selaku tunggal kedua selalu bisa mengalahkan Foo Kok Keong," kenangnya.
Rexy Mainaky tak sungkan memuji penampilan tunggal Malaysia, Foo Kok Keong yang mampu bangkit saat itu di momen krusial.
Setelah menelan kekalahan melawan Alan Budikusuma di pertemuan pertama, Foo Kok Keong akhirnya mampu membalaskan dendam.
Alhasil, Indonesia pun harus puas menduduki posisi runner-up dalam perhelatan Piala Thomas tahun 1992 tersebut.
Beruntung, bagi tim Indonesia yang akhirnya bisa membalaskan kekalahan dua tahun berikutnya di partai final Piala Thomas 1994.
(Tribunnews/Dwi Setiawan)