Sebanyak 67 Cabang Olahraga Indonesia Sepakat Tak Boleh Ada Diskriminasi di Olahraga
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia) bersama 67 anggota cabang olahraga bersepakat memegang teguh Olympic Charter atau Piagam Olimpiade mengatur tidak diperbolehkannya diskriminasi dalam aktivitas olahraga.
Hal itu disampaikan Ketua NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari bersama perwakilan cabang olahraga, diantaranya dari tinju, basket, sepak bola, sambo, jetski, senam, biliar dalam press conference di Kantor NOC Indonesia di Senayan, Rabu (29/3/2023).
“Sikap NOC Indonesia jelas sebagai penjaga Olympic Charter. Kami memiliki 67 anggota yang terafiliasi ke Federasi Internasional, di mana mereka semua juga memiliki statuta yang menjunjung tinggi Piagam Olimpiade yang mengatur tidak boleh ada diskriminasi dalam aktivitas olahraga,” kata Okto, sapaan karib Raja Sapta.
Baca juga: Sebut Timnas Indonesia Sudah Level Asia, Shin Tae-yong Minta Lawan Peringkat 100 Besar FIFA
Baca juga: Erick Thohir Siap Pulang Bawa Kabar Baik, Hampir Nangis Sebelum Berangkat Dengar Pesan Pemain Ini
“Kita ini negara besar, negara anggota G7 dan G20. Tujuan kita satu, mengumandangkan Indonesia Raya dan Merah Putih di seluruh dunia. Jangan sampai kita dikerdilkan di pergaulan olahraga internasional karena melakukan diskriminasi di olahraga, terutama kepada atlet. Olahraga adalah aktivitas independen yang mengedepankan sportivitas, respect, dan persahabatan” kata Okto, sapaan karib Raja Sapta.
Bapak Olimpiade Pierre Le Coubertin, kata Okto, sempat menyampaikan bahwa perdamaian tidak akan pernah didapatkan sampai prasangka yang sekarang memisahkan ras yang berbeda tidak ada lagi.
Lebih lanjut, Okto menjelaskan Olympic Charter mengatur Prinsip Fundamental Olympism, menjamin atlet yang berkompetisi tidak boleh mendapat diskriminasi dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pendapat politik atau hal lain yang berkaitan dengan asal kebangsaan, sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.
“Saya rasa melalui kegiatan olahraga, kita harus menunjukkan kedewasaan kita dalam menempatkan diri di kancah dunia. Apalagi, kita membidik diri menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2036.”
Komite Olimpiade Internasional (IOC), kata Okto, bersama negara tuan rumah Olimpiade pun memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh negara partisipan pesta olahraga empat tahunan paling bergengsi di dunia.
Peran NOC, lanjut Okto, pun telah diatur dalam Olympic Charter untuk mengambil tindakan atas segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di olahraga. Sebab, diskriminasi sangat dilarang dalam aturan olahraga internasional.
Okto menjelaskan aturan olahraga internasional tersebut pu diadopsi oleh negara-negara seperti Qatar dan UAE ketika menjadi tuan rumah olahraga internasional. Keduanya memisahkan politik dan olahraga. “Ada contoh dari Qatar dan UAE. Mereka bersikap netral kepada atlet yang berkompetisi. Itu terjadi ketika IAAF mengadakan World Championship di Qatar dan ketika turnamen Dubai Tennis International,” ujar Okto.
Ia mengatakan tidak mau jika olahraga dicampuradukan dengan politik justru berimbas terhadap positioning Indonesia.
"Belum lama ini, Indonesia merasakan disanksi WADA. Posisi kita dikucilkan di olahraga internasional karena tidak bisa mengibarkan bendera Merah Putih dan Indonesia Raya serta tak bisa menjadi tuan rumah kegiatan internasional. Jangan sampai ini terjadi lagi karena kita salah sikap dalam melihat olahraga dari kacamata politik. Olahraga tidak boleh dicampuradukan dengan politik,” kata Okto.