TRIBUNNEWS.COM - Pemilik GASGAS KTM, Herve Poncharal, tidak ingin banyak mengeluh soal ketimpangan antara jumlah tim pabrikan dan satelit di MotoGP 2023 yang kini lebih condong ke Ducati.
Menurutnya, Ducati yang terlalu OP (over power) di MotoGP 2023 tidak serta-merta menyalahkan pabrikan asal Italia tersebut.
Mengingat tim-tim independen/satelit yang ingin berafiliasi dengan pabrikan di MotoGP 2023 jelas memiliki kriteria utama pada perihal pengembangan motor.
Kemudian aspek kedua ialah biaya yang perlu dikeluarkan untuk 'menyewa' motor pabrikan tersebut.
Baca juga: Bursa Transfer Pembalap MotoGP: Adik Marc Marquez Masih Bersama Gresini Ducati Musim Depan
Ducati, menjadi tim dengan daya pikat tertinggi di MotoGP 2023.
Total, ada tiga tim satelit yang bersinergi dengan pabrikan Borgo Panigale itu. Di antaranya ialah Gresini Racing, Pramac, dan Mooney VR46.
Dengan mundurnya Suzuki dan banyaknya tim yang condong menjalin kemitraan dengan Ducati, membuat peta kekuatan di MotoGP 2023 jomplang.
Menurut Herve Poncharal, normalnya dalam kejuaraan dunia MotoGP, minimal ada 6 pabrikan yang berlaga. Sedangkan ini hanya ada 5 meliputi Yamaha, Honda, Ducati, Aprilia dan KTM.
"Skenario paling ideal adalah 24 motor dan enam pabrikan, dan masing-masing memiliki tim satelit," terang pria yang juga merangkap jabatan sebagai presiden IRTA, dikutip dari GPOne.
Namun realitanya tidak demikian. Ducati jelas menjadi tim yang paling banyak memiliki ';second team'.
Nahasnya ini berbanding terbalik dengan Yamaha yang tak memiliki tim satelit setelah RNF berpindah haluan ke Aprilia.
Selain masalah pengembangan motor YZR-M1, ongkos biaya motor Yamaha juga terbilang lebih mahal dibanding pabrikan Eropa.
Pengembangan motor ini pula yang mendasari mengapa Ducati secara keseluruhan memiliki 8 pembalap.
"Harusnya ada tempat lain untuk pabrikan, dan saya rasa BMW ataupun Kawasaki mempunyai pengalaman guna menggantikan kekosongan yang ditinggalkan Suzuki."
"Sayangnya (Dorna) memberikan jatah pabrikan ke tim satelit."
MotoGP dalam dua tahun terakhir memang kerap dijuluki Ducati Cup karena supremasi pabrikan Italia ini yang tak tertandingi.
8 pembalapnya secara bergantian bisa bersaing di grid depan. Namun sejauh ini, Marco Bezzecchi, Jorge Martin dan Francesco Bagnaia yang paling dominan.
Poncharal tak ingin menyalahkan bagaimana Ducati terlalu OP.
Terlebih dengan pengembangan Desmosedici yang berkembang pesat, jelas menguntungkan tim-tim yang bermitra dengan mereka untuk ambil bagian dalam kejuaraan dunia.
"Jujur saja, saya senang dengan bursa transfer pembalap yang bebas."
"Dan beberapa orang mengatakan Ducati memiliki 8 pembalap itu terlalu banyak," sambungnya.
"Itu bukan sesuatu yang salah jika Gresini kemudian memilih Ducati setelah mendapatkan tawaran untuk bermitra dengan Aprilia," sambung Poncharal.
"Kemudian ada juga yang menyarankan VR46 beralih ke Yamaha. Itu bukan poin utamanya, namun tanya saja ke Marini dan Bezzecchi apakah mereka mau bergabung dengan tim yang secara pengembangan jauh dari Ducati," celetuknya.
Herve Poncharal mengaku tidak kaget dengan apa yang terjadi dengan Ducati yang diminati banyak tim independen.
"Saya lama berkecimpung di MotoGP. Semua tim menginginkan menjadi kuat, dan salah satu caranya ialah bergabung dengan tim seperti Ducati. Yamaha memang sulit dalam pengembangan," paparnya.
Apa yang disampaikan oleh pemilik GASGAS KTM Tech3 ini menunjukkan bagaimana Ducati dalam hal ini tidak salah memiliki banyak second team.
Pabrikan berjuluk The Bologna Bullets ini menjadi menggoda bukannya tanpa sebab, melainkan pengembangan kuda besinya yang jauh lebih mumpuni. Sekaligus memperbesar peluang bagi pembalapnya meraih kemenangan.
(Tribunnews.com/Giri)