JIKA Anda membaca tulisan ini dalam ingatan Anda langsung melayang ke sampul depan skripsi-skripsi yang disusun berjajar berderet-deret di perpustakaan-perpustakaan Universitas, saya memakluminya.
Sebab meski belum berbentuk skripsi, "studi kasus" ini memang sungguh layak dikembangkan menjadi skripsi. Atau mungkin saja tesis. Bahkan barangkali juga pantas sebagai desertasi yang membuat Anda bergelar doktor.
Ini "studi kasus" yang sangat menarik. Perihal bagaimana banyak pihak seolah-olah bersatu suara, bersepakat, untuk membangun kebenaran baru dari kebenaran yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, kesepakatan tersebut membuat kebenaran yang hakiki teredam, ditutup rapat, disembunyikan di balik kebenaran baru yang dibangun--meminjam istilah kubunya Pak Prabowo pada Pemilu 2014 lalu--secara sistematik, terstruktur, dan masif.
Saya tidak hendak bicara perihal kasus yang berat-berat dan besar. Sejak zaman Tuan Murjangkung datang dari Negeri Belanda dan nyelonong ke ujung barat tanah Jawa lalu mendirikan kota bernama Batavia hingga percakapan Setya Novanto dan Riza Chalid dan Maroef Sjamsoedin sampai ke tangan Soedirman Said dan membikin Indonesia gonjang-ganjing tak karuan, jika dicatat dan kemudian disusun dalam bentuk buku, maka lembaran kasus seperti ini ketebalannya niscaya akan 100 kali lipat ketebalan Arus Balik, novel paling tebal yang pernah ditulis Pramoedya Ananta Toer.
Saya mau bicara tentang kasus yang baru sebagian Anda mungkin saja dipandang remeh. Atau tak penting. Terserah pada Anda, sebab saya paham, dan dengan demikian tidak mencoba memaksakan, bahwa memang tidak semua orang menyukai sepakbola. Terlebih-lebih sepakbola Indonesia yang acak-kadut luar biasa.
Namun terlepas dari persoalan penting tak penting, bagi saya persoalan ini menarik. Saya melihat ada upaya yang sistemik, terstruktur, dan masif untuk mengaburkan fakta antara dua klub sepakbola, PSMS Medan dan PS TNI.
Berawal dari penyelenggaraan turnamen Piala Jenderal Sudirman. Ini merupakan turnamen ketiga yang diselenggarakan "untuk mengisi kekosongan" kompetisi sepakbola di Indonesia, setelah FIFA membekukan sementara keanggotaan Indonesia.
Turnamen pertama, yang dinamakan Piala Kemerdekaan, diikuti oleh klub-klub yang berada di level Divisi Utama. Turnamen ini dijuarai PSMS.
Kemudian digelar Piala Presiden. Kontestan turnamen ini adalah klub-klub yang sebelumnya berkiprah di Indonesia Super League (ISL). Piala Presiden dimenangkan Persib Bandung.
Lalu Piala Jenderal Sudirman? Sebelum turnamen digelar, sempat mencuat isu bahwa turnamen ini merupakan turnamen gabungan. Pesertanya adalah empat besar Piala Kemerdekaan dan empat besar Piala Presiden. Namun barangkali karena dinilai kurang menjual, konsep ini urung digeber. Seperti halnya Piala Kemerdekaan, kontestan Piala Jenderal Sudirman adalah kontestan Piala Presiden, plus tim tuan rumah, PS TNI.
Persoalan muncul ketika kemudian PS TNI justru tidak tampil sebagai PS TNI. Seorang kawan, mantan pesepakbola yang juga berkarier sebagai anggota TNI, menyebut bahwa sejauh yang ia pahami, PS TNI merupakan tim yang pemain-pemainnya merupakan anggota TNI aktif dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara.
Tidak ada Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam skuat PS TNI yang diturunkan di Piala Jenderal Sudirman. Seluruhnya Angkatan Darat, ditambah pemain yang merupakan warga sipil. Dan mereka, datang dari satu klub, PSMS.
Atas hal ini, saya pernah menyebutnya sebagai bentuk "penyamaran PSMS". Seorang kawan lain meluruskannya menjadi "PSMS yang disamarkan". Saya sepakat dengan idiom ini. "Menyamar" atau "disamarkan", meski dari sisi makna berbeda, dalam perkara PSMS di Piala Jenderal Sudirman ini, saya kira prinsipnya jadi kurang lebih serupa.
Tapi begitulah. Semakin ke sini, anehnya, tentang PSMS yang "menyamar" atau "disamarkan" ini, cenderung kelihatan makin dikaburkan. Sejak Piala Jenderal Sudirman digelar, kata 'PSMS' seolah-olah menjadi kata yang tabu.
PSMS disembunyikan dengan segenap daya upaya. Saat pertandingan yang melibatkan PS TNI disiarkan langsung di televisi, presenter dan komentator, tak sekali pun mengungkit-ungkit PSMS.
Sebuah koran nasional menurunkan artikel satu halaman penuh yang membahas gaya bermain PS TNI yang menurut pandangan penulisnya luar biasa. Bersemangat tinggi, keras, dan penuh fanatisme. Dan penulis itu memberikan acungan jempol.
Saya jadi bertanya-tanya, ini penulis baru kemarin sore mengikuti sepakbola nasional atau memang pura-pura tidak tahu? Sejak zaman layar televisi masih hitam putih, PSMS sudah bermain dengan cara seperti itu. Sepakbola Medan, yang keras namun tak kasar, meski kadang-kadang nakal.
Jika seluruh awak PSMS "dibedol desa" ke PS TNI, semestinya penulis ini tahu bahwa gaya permainan ini akan terasuk sepenuhnya. Atau sebenarnya pun bukan terasuk. Sebab yang jika lambangĀ TNI yang tertempel di kostum hijau di bagian dada sebelah kanan itu diganti lambang PSMS, maka yang bermain melawan (sejauh ini) tiga klub ISL, dan menang, itu adalah PSMS.
Hari berikutnya, juga di satu media nasional, diturunkan artikel yang menyebut pemain-pemain PS TNI mendadak menjadi idola-idola baru. Seperti sebelumnya, tidak ada satu pun kata 'PSMS' muncul di sana.
Ini belum seberapa. Lebih parah lagi, ada sebaris kalimat di dalam artikel itu, yang berupaya menjelaskan "asal muasal" para pemain PS TNI. Dan mereka memilih kalimat seperti ini: "Awalnya mereka tidak terlalu dikenal, hanya kumpulan pemain yang bertanding di level Divisi Utama."
Duh, kacau sekali, ya! Kenapa tidak disebut PSMS saja? Kenapa nama PSMS harus disembunyikan seperti halnya identitas korban pemerkosaan di bawah umur?
Yang juga membuat saya tak paham, untuk apa sebenarnya semua upaya pengaburan fakta ini dilakukan? Inisiatif sendiri atau ada yang memerintah?
Tengku Agus Khaidir (Korlip Tribun Medan)
Twitter: @aguskhaidir