Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM - "Pada tingkatan paling dalam, realitas adalah matematika (mathematikoi) alami," begitulah diktum yang ditegaskan seorang filsuf Yunani arkhaik, Phytagoras, ribuan tahun silam.
Lebih jauh lagi, menurut Phytagoras, teorema segitiga yang ia jabarkan diyakininya terkait erat, bahkan, mencerminkan harmonisasi kosmos atau alam semesta beserta segala perilaku manusia di dalamnya.
Jauh setelah Phytagoras wafat, aksioma yang ia buat juga—disadari atau tidak—ternyata turut mengilhami Manajer Barcelona, Luis Enrique, menyempurnakan taktik "tiki-taka" warisan Pep Guardiola yang pernah dinilai sudah memasuki masa "senjakalanya".
Setidaknya, itulah kesimpulan yang bisa direduksi dari analisis profesor matematika kenamaan, David Sumpter.
Segitiga Penjaga Harmoni
Dalam kolomnya di laman FourFourTwo, Sumpter menuturkan "tikit-taka" era Guardiola sudah mentok dan mampu diantisipasi lawan-lawan Blaugrana.
Itu terbukti pada pembantaian Barcelona oleh Bayern Muenchen 0-7 dalam ajang Liga Champions tahun 2013.
Pressing tanpa lelah pemain-pemain Bayern, mampu meluluhlantakkan operan-operan pendek nan cepat Barcelona.
"Setelah kekalahan itu, Barcelona butuh beberapa lama untuk memulihkan diri, hingga Luis Enrique datang pada tahun 2014. Ketika itu, ia melihat kelemahan 'tiki-taka', dan menyempurnakannya dengan memasukkan rumus simetri," tulis Sumpter.
Pada sisi kiri formasi Barcelona, Enrique memasang "segitiga" yang dipimpin Neymar dan dibantu Jordi Alba serta Andres Iniesta.
Sementara pada sisi kanan, ia memercayakan Lionel Messi memimpin "segitiga" bersama Ivan Rakitic dan Dani Alves.
Menurut Sumpter, formasi segitiga ini efektif dalam pembuatan jaringan operan serta umpan terobosan ke lini tengah lawan yang didiami Luis Suarez.
Itu seperti yang terjadi ketika Barcelona menghancurkan AS Roma 6-1 di ajang Liga Champions, November 2015.