Apollonian merupakan semangat kejeniusan, mengedepankan keharmonisan serta keindahan, dan segala kemampuan untuk menghadirkan seni bermutu tinggi sehingga mampu menutup kenyataan-kenyataan penuh kemalangan.
Sedangkan Dionysian, adalah simbolisasi semangat penuh “kegilaan”, ekstase, keinginan untuk menghancurkan semua norma kehidupan yang sudah mapan, teratur/harmonis, mekanistik, dan rasional. Semangat yang tak mau terkekang oleh kemapanan.
Dionysian cenderung berada di kutub negatif, tapi sangat dialektik. Jika tak ada semangat Dionysian, tak bakal ada seni tinggi. Sebab, nilai estetik dalam kebudayaan selalu lahir dari rahim konflik, perseteruan.
Jika hanya ada semangat Apollonian, maka keindahan akan menjadi stagnan, tak berkembang, lalu menjadi totem atau mati.
Meski bertolak belakang, kedua simbolisasi semangat ini tak bisa dipisahkan, bahkan saling memengaruhi. Alhasil, pertautan kedua oposisi biner itu justru menciptakan hal-hal baru yang secara superfisial menyatu: keindahan seni.
Negara yang disebut Nietszche sebagai pembunuh seni dan keindahan itu, tampaknya bisa diwakilkan sebagai kekuatan modal berbagai taipan dunia sepak bola.
Tak peduli laga itu berjalan seperti apa, yang penting tiket, pernak-pernik, bursa taruhan, dll, menguntungkan dan menambah pundi-pundi uang para pemodal.
Tapi, itu bukan berarti sepak bola kekinian tak lagi memiliki nilai estetis yang mampu membuat penggemarnya bahagia.
Setidaknya, ada Guardiola yang mewakili semangat Apollonian dan Mourinho “si Dionysian” yang lewat perseteruannya, mampu kembali menghadirkan keindahan tersendiri dalam sepak bola.
Kemungkinan, banyak pihak yang merasakan ada “sesuatu yang hilang” di La Liga Spanyol, ketika Mou dan Pep memilih hengkang dari kompetisi itu.
Meski pesona Barcelona terus bersinar, dan kemegahan Real Madrid semakin kuat, tetap saja tak semenarik saat Pep dan Mou saling lempar sindiran ketika konferensi pers, serta adu taktik di lapangan.
Kekinian, jika Mourinho dan Guardiola mau mendengarkan "nasihat" dari Nietzsche itu, kita boleh lah berharap bisa merasakan ekstase saat menyaksikan Manchester United vs Manchester City sembari “deg-deg-ser”. (Reza Gunadha)