LULUH lantak di Camp Nou untuk kali kedua, Josep Guardiola akan menghadapi ujian lanjutan dalam karier kepelatihannya yang sesungguhnya sangat cemerlang. Iya, pascameninggalkan Barcelona, Guardiola tetap moncer. Tiga tahun di Jerman, dia membuat Bayern Munchen tidak tersentuh.
Pula begitu sekarang di Manchester City. Setidaknya sampai pekan ini, City bertengger di puncak klasemen Liga Inggris.
Tapi kecemerlangan Guardiola tak sempurna. Dia boleh berjaya di Bundesliga, mempertahankan eksistensi, kebesaran, dan kemegahan Bayern Munchen. Namun saat terbang ke Catalan untuk menjajal Barcelona, hilang segala kedigdayaan itu. Musim 2014-2015, putaran pertama semifinal di Camp Nou, Munchen dipukul tiga gol tanpa balas. Tiki Taka versus Half Tiki Taka, tulis Mundo Deportivo.
Di tangan Guardiola, pola permainan Munchen berubah. Ia menyuntikkan filosofi Tiki Taka yang masyhur. Namun dalam praktik, filosofi ini ternyata tak dapat diserapkan 100 persen. Hanya setengah, kata Mundo Deportivo.
Maka jangankan Barcelona, setengah Tiki Taka ini tak cukup ampuh untuk melawan Atletico Madrid dan Real Madrid, dua jago Liga Spanyol yang notabene sudah sangat terbiasa bertarung melawan pengusung Tiki Taka asli.
Apakah tiga kekalahan ini membuat Guardiola jera? Sepertinya belum. Jera di sini, tentu saja, maksudnya adalah dia mencari cara lain: mengubah pola, mengubah strategi, menemukan kombinasi dengan takaran yang tepat antara Tiki Taka dan gaya lain, tatkala berhadapan dengan Barcelona atau Atletico atau Real Madrid atau klub Spanyol yang sudah memahami Tiki Taka sampai ke tulang sumsum.
Kita tahu, pada 19 Oktober 2016, saat melawat ke Camp Nou bersama Manchester City, Guardiola tetap saja memaksakan "setengah" Tiki Taka tadi.
Hasilnya kembali jeblok. Manchester City bukan saja diremukkan dengan empat gol tanpa mampu membalas, laga ini pun menjadi ajang memalukan bagi Claudio Bravo. Alih-alih menjadi sosok penting yang datang kembali untuk mempermalukan mantan klubnya, Bravo justru harus keluar lapangan sebagai pesakitan. Wasit mengusirnya lantaran nekat menepis bola di luar kotak penalti.
Tentang ini, Lionel Messi mengemukakan pendapat. "Sejak Pep (sapaan Josep Guardiola) pergi, kami (Barcelona) mengalami perkembangan. Kami bergerak ke arah lain tanpa meninggalkan Tiki Taka. (Luis) Enrique membuat kami lebih tajam dan lebih cepat dalam menyerang. Tim ini tidak sama lagi," katanya pada goal.
Barcelona bergerak maju sedangkan Guardiola masih berkutat dengan Tiki Taka lama, dan tak sempurna pula. Maka memang tidak mengherankan apabila di Camp Nou, Manchester City terkesan sebagai tim kacangan. Pemain-pemain mahal mereka, pemain-pemain yang mesti diakui masuk dalam jajaran terbaik di posisinya, tampil sangat tanggung dan canggung, serba salah. Terutama di barisan bawah yang terkesan amatir di hadapan Messi, Neymar, dan Luis Suarez.
Rabu (2/11) dinihari di Etihad Stadium, kedua kesebelasan akan kembali bentrok. Pertanyaannya, apakah Guardiola tetap memaksakan strateginya? Mungkin demikian. Pep dikenal santun namun keras kepala. Nyaris kebalikan dari Jose Mourinho yang sungguh menjengkelkan namun lebih lentur untuk perkara-perkara model begini.
Sehari setelah pembantaian di Camp Nou, dalam wawancara dengan stasiun televisi Skysports, Pep mengatakan dia lebih baik ditendang keluar dari City ketimbang dipaksa mengubah filosofi bermain.
"Dalam tujuh tahun saya memenangi 21 gelar. Maaf, teman. Itu artinya tiga gelar per musim dengan cara seperti ini. Saya tidak akan mengubahnya. Sama sekali tidak. Jika dipaksa, saya akan pulang sebelum saya mengubahnya," katanya.
Jadi begitulah. Seperti ketika masih menukangi Munchen, Josep Guardiola akan tetap menggeber filosofi yang sudah mendarahdaging baginya. Waktu itu, di Alianz Arena, Munchen menang 3-2 dan gagal lolos ke final. Laga nanti belum masuk fase gugur. Namun hasilnya akan sangat menentukan. Sekiranya kembali gagal meraih poin, City akan berada di posisi genting karena bisa saja mereka dilewati Borussia Monchengladbach yang di saat bersamaan menjajal juru kunci klasemen Grup C, Glasgow Celtic.
Di dua laga tersisa, City akan melawat ke kandang Monchengladbach dan menjamu Celtic di Etihad. Monchengladbach dikenal sulit ditaklukkan tiap kali bermain di Borussia-Park. Bahkan Barcelona mesti menunggu hingga menit ke 74, dan setelah itu bekerja keras menahan gempuran, untuk memastikan kemenangan tipis 2-1.
Sekiranya gagal membawa City lolos dari fase grup, ini jadi catatan terburuk Guardiola sepanjang karier melatihnya. Tetapi Pep, agaknya, masih percaya diri. Pun dengan kenyataan bahwa di laga ini dia terpaksa mengandalkan Willy Caballero, penjaga gawang yang memiliki rekor sangat jeblok atas Barcelona. Lebih khusus lagi terhadap Messi.
Caballero tujuh kali menghadapi Barcelona dan dia kebobolan 21 gol. Dan di antara 21 gol ini, enam di antaranya dilesakkan Messi, termasuk hattrick ke gawang Malaga, klub Caballero saat itu, pada 22 Januari 2012. Namun Pep tak berpatokan pada rekor ini. Melainkan pada laga kontra Manchester United di Piala Liga Inggris, laga di mana City justru kalah.
"Benar, kami kalah. Tapi Willy menunjukkan performa gemilang. Dia sangat tenang dan mementahkan banyak peluang. Saya kira dia sangat siap untuk pertandingan ini. Dia akan menjadi kunci kemenangan kami," ucap Pep.
Selain Willy Cabalero, pemain lain yang disebutnya sebagai faktor penting adalah IIkay Gundogan. Di laga akhir pekan Liga Inggris, Gundongan melesakkan dua gol kemenangan City atas West Bromwich Albion (WBA).
"Dia sangat dominan. Penguasaan bola, pengaturan tempo, serta kejelian melihat peluang paling sempit sekalipun. Usai laga, saya bilang, terima kasih. Saya berharap dia baik-baik saja. Dia pemain penting dalam upaya kami mencapai semua target musim ini," kata Pep pada Metro.
Gundongan memang memukau kontra WBA. Ia menjadi bintang yang bersinar terang bersama Sergio Aguero. Tapi harus digarisbawahi bahwa Barcelona bukan WBA. Dan keleluasaan yang diperoleh Gundongan kala bentrok dengan WBA nyaris pasti tidak akan didapatnya dari Barcelona.
twitter: @aguskhaidir