News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sudut Lapangan

Menyukat Keseriusan PSMS Medan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PEMAIN mengikuti sesi small game dalam seleksi pembentukan skuat PSMS di Lapangan Makodam I/BB, Jl Gatot Subroto, Medan, beberapa waktu lalu.

SELASA malam, 2 Januari 2017, lebih dari lima ribu orang berkumpul di Avenida Suecia, memenuhi beberapa ruas jalan yang terletak tak jauh dari Estadio Mestalla. Orang-orang ini adalah suporter Valencia yang marah. Kurang satu jam sebelumnya, Valencia bermain di ajang Copa Del Rey dan digebuk Celta Vigo 1-4.

Malam itu kesabaran suporter Valencia tak dapat lagi ditahan. Musim 2016-2017 menjadi musim terburuk sepanjang sejarah Valencia di era modern. Di La Liga, mereka terpuruk di seputaran zona degradasi.

Harapan di Copa Del Rey pun sepertinya akan pupus. Memang masih ada putaran kedua. Namun jarak tiga gol nyaris mustahil diatasi. Terutama karena laga ini bakal digelar di Estadio Municipal de Balaidos, kandang Vigo.

Maka kekesalan pun meledak. Kemarahan ditembakkan dan sasarannya adalah Peter Lim dan Chan Lay Hoon, pemilik dan presiden klub. Suporter Valencia menempatkan keduanya sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab atas keterpurukan yang terjadi. Mereka menilai Lim dan Lay Hoon tidak serius membangun skuat yang mumpuni untuk mengarungi dua kompetisi yang diikuti.

"Kalian hanya pedagang yang tidak memahami dan menjiwai sepakbola. Lim, pulanglah (ke negaramu). Bawa Chan bersamamu. Kami tak butuh dia di sini," teriak para suporter.

AKSI unjuk rasa suporter Valencia

Peter Lim pengusaha dari Singapura dan Chan Lay Hoon merupakan manajer top dengan jam terbang tinggi dan pernah memimpin sejumlah perusahaan level internasional. Kolaborasi strategi dagang mereka di musim 2016-2017 menghasilkan 114 juta euro dari penjualan sejumlah pemain bintang. Termasuk Andre Gomes dan Paco Alcacer ke Barcelona dan Shkodran Mustafi ke Arsenal. Modal yang sesungguhnya cukup untuk melakukan membangun skuat tangguh.

Namun ternyata mereka hanya piawai menjual dan tidak punya cukup kecakapan untuk membeli. Peter Lim dan Chan Lay Hoon gagal meyakinkan para pemain incaran untuk merapat ke Mestalla. Pembelian terbesar mereka, 20 juta euro, hanya Ezequiel Garay dari Zenit St Petersburg. Plus Nani yang dibeli dari Fenerbahce seharga 8,5 juta euro. Dan enam dari 10 pemain baru yang masuk hanya berstatus pinjaman dan pemain lama yang kembali dari masa peminjaman.

"Kami mendukung Prandelli yang memutuskan pergi. Pelatih sepakbola memang hanya akan berada di klub sepakbola yang sesungguhnya," teriak mereka lagi.

Cesare Prandelli hanya menangani Valencia di 10 pertandingan. Torehannya buruk. Tiga kali menang, tiga imbang, dan empat kalah. Sebelum pergi dia berbicara pada media perihal keputusannya yang mengejutkan.

"Saya tidak bisa berada di tim yang ditangani oleh orang-orang yang salah. Orang-orang yang mengira diri mereka paham (sepakbola)," katanya.

Jika Prandeli tak bicara, maka hubar-habir Valencia ini tak akan berkaitpaut dengan PSMS. Valencia di La Liga PSMS di Liga Indonesia Divisi Utama. Jauh di langit jauh di bumi. Valencia dimiliki Peter Lim, multimilyuner Singapura, sedangkan PSMS tak jelas punya siapa. Tidak pelat merah tidak juga pelat hitam sepenuhnya.

Lalu apa benang merahnya? Keseriusan, dan pemahaman perihal sepakbola! Sampai di sini mencuat pertanyaan, apakah orang-orang di jajaran manajemen PSMS tidak paham sepakbola? Tentu saja mereka paham. Bahkan amat sangat paham, karena, toh, beberapa di antaranya sudah menjadi pengurus PSMS selama lebih dari dua dekade.

Namun begitulah. Pemahaman yang pastinya nyaris mencapai tingkat sempurna ini, sayangnya, harus lesap dan lenyap --dan barangkali pada akhirnya terpaksa mengalah-- lantaran tidak berdaya menentang pandangan dan sikap dari pihak-pihak lebih berkuasa yang justru tidak memahami sepakbola.

Jika paham, tentunya, PSMS tidak akan lagi mengusung metode kuno dalam membangun skuat. Sepakbola sudah berada di era digital. Ada Squawka, ada WhoScored, dan --tentu saja-- ada OptaSports. Di sini tertera statististik-statistik pemain dari A sampai Z. Hal yang membuat metode zaman "prasejarah" semacam 'seleksi' tidak perlu lagi digelar. Tinggi melongok ke situs-situs itu, pilih yang cocok, periksa kekuatan dana, kontak pemain diinginkan lewat agennya, tes kesehatan, selesai.

Sampai di sini muncul pertanyaan baru. Bukankah tidak ada pemain-pemain Indonesia di situs-situs tersebut? Benar sekali. Akan tetapi, jikapun tidak lewat situs-situs itu, referensi bisa diperoleh dari sumber lain. Misalnya rekaman video di youtube atau sekurang-kurangnya "pengetahuan" pelatih.

SELAMET Riyadi saat masih menjadi Pelatih Kepala Kwarta FC

Selamet Riyadi, pelatih yang diberi tugas melakukan seleksi, mengadopsi pendekatan terakhir. Masih kuno, namun setidaknya sedikit lebih baik meskipun di antara pemain-pemain yang didatangkan itu tak satupun yang berkategori bintang berkelas. Dan Selamet telah melangkah lumayan jauh sebelum tiba-tiba manajemen PSMS menggantinya dengan Mahruzar Nasution.

Mahruzar sebagaimana Selamet pernah bermain untuk PSMS. Sebagai pelatih dia pernah jadi Asisten Tim Nasional U-19. Namun terlepas dari curriculum vitae yang sesungguhnya juga tidak terlalu gemerlap ini, penunjukkan Mahruzar jelas bukan langkah yang ideal. Sebab sama sekali tak ada jaminan Mahruzar akan meneruskan cetak biru PSMS yang telah disusun Selamet sejak memulai proses pembangunan skuat.

Dan persiapan yang membuat PSMS unggul selangkah dari kontestan Divisi Utama lain jadi kehilangan arti karena masuknya Mahruzar membuat semuanya dimulai dari nol lagi. (t agus khaidir)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini