TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Timnas Indonesia menuju semifinal di Piala AFF 2018 menjadi berat usai menderita kekalahan 0-1 dari Singapura di laga perdana Grup B.
Tim arahan pelatih Bima Sakti tersebut harus memenangkan tiga pertandingan sisa melawan Timor Leste, Thailand, dan Filipina bila mau aman. Tugas yang tidak ringan. Tapi, perjuangan belum selesai. Segala sesuatu masih bisa terjadi. Terpenting, fokus dari setiap pertandingan yang dijalankan.
Di sela-sela pengajian shubuh yang rutin digelar. Prof. Dr. KH Maruf Amin masih menyempatkan diri menganalisa situasi dan kondisi terkini Tim Merah Putih. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mantan Rais Aam Syuriah PB NU yang kini menjadi Cawapres nomor 01 berpasangan dengan Ir. Joko Widodo tersebut sangat fasih sekali mengurai masalah yang dihadapi timnas seperti halnya beliau menjelaskan kajian kitab-kitab salaf keislaman.
“Saat melawan Singapura ball possession kita unggul 62% berbanding 38%. Sayang, penguasaan bola tak diiringi dengan variasi serangan. Ada kebuntuan. Strategi tidak berjalan dengan baik. Sistem yang biasa diterapkan pelatih Luis Milla belum mampu ditransfer dengan utuh oleh Bima Sakti. Utamanya dalam transisi permainan,” ungkap Abah Kiai Maruf Amin, begitu Prof. Dr. KH Maruf Amin biasa disapa.
Diskusi santai hampir 30 menit pun mengalir terkait laga melawan Timor Leste yang akan digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Selasa, 14 November 2018.
Didampingi KH. Irfan Zidny, Ketua Majelis Rumah Jamaah, #ngajibola berlangsung seru. Prof. Dr. KH Maruf Amin menyatakan bahwa Timor Leste bukan lawan sembarangan meski rekor pertemuan menguntungkan Indonesia.
“Timor Leste itu dulu bagian dari Indonesia. Bahkan, ada beberapa pemainnya pernah memperkuat timnas Indonesia seperti Miro Baldo Bento dan Joao Bosco Cabral. Kita sejatinya sudah saling mengenal. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan momentum sebagai tuan rumah,” tutur KH Maruf Amin.
KH Maruf Amin pun mengurai sejarah Timor Leste--dulunya bernama Timor Timor-- yang pada 1976 menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai pada akhirnya melakukan referendum dibantu Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada 30 Agustus 1999.
Negara eks jajahan Portugal tersebut menyatakan sebagai bangsa berdaulat pada 20 Mei 2002. Sejak saat itu negara seluas 15.410 km2 dengan penduduk 1.212.107 melakukan pembangunan secara berkesinambungan termasuk sepakbolanya.
“Mereka sangat fokus membangun sepakbolanya. Dana bantuan dari FIFA lewat Goal Project dipergunakan untuk membangun kantor federasi dan camp latihan timnasnya. Sejak Februari 2016 mereka juga menggelar kompetisi profesional. Bekerja sama dengan Portugal dan Brasil, negara yang punya kemampuan hebat di belantika sepak bola dunia. Banyak pemain mereka berdarah Portugal dan Brasil. Timor Leste tak bisa dianggap remeh sekarang,” papar Prof. Dr. KH Maruf Amin.
Ya, sejak awal tahun 2016, Timor Leste memang menggelar Liga Futebal Amandora (LFA) yang diikuti 12 klub professional. Untuk meningkatkan kualitas kompetisi, mereka mendatangkan legiun asing termasuk dari Indonesia seperti Karketu Dili FC yang mendatangkan Titus Bonai, Patrich Wanggai, dan Abdul Rahman. Carsae FC memboyong Boaz Solossa, Oktovianus Maniani, dan Imanuel Wanggai.
“Tapi, kita main di rumah sendiri di Senayan. Kita harus menang untuk membuka peluang. Menang dengan meyakinkan seperti halnya Thailand yang menang 7-0 vs Timor Leste. Tapi, kita tak boleh mengganggap remeh. Lupakan kekalahan dari Singapura. Fokus dan konsentrasi penuh menghadapi Timor Leste. Saya doakan semoga Indonesia bisa menang meyakinkan. Mari kita doakan bersama. Dukung total. Senayan Rumah Kita. Sepakbola Indonesia harus lebih maju, lebih berprestasi ke depannya,” urai KH Maruf Amin.