TRIBUNNEWS.COM - Lazio medio akhir 90-an hingga awal millenium, adalah klub yang disegani, dan sejak awal berdiri, adalah klub kebanggan Ibu Kota sebelum AS Roma didirkan Benito Mussolini.
Tragisnya, medio 2010-an, Lazio menjadi tim semenjana yang bahkan hanya mampu berkompetisi di papan tengah.
Supporter-pun enggan mendukung tim kesayangannya, dan bahkan membuat Olimpico Roma adalah laga tandang bagi Lazio.
Sekarang, Lazio adalah tim yang mengerikan, sangat tajam di lini depan, adanya Ciro Immobile sebagai juru gedor sangat berpengaruh terhadap permainan Gil Aquoti.
Belum lagi adanya Milinkovic-Savic yang menjadi mesin dan kreator di lini tengah Lazio.
Baca juga: Bursa Transfer: Salah ke Real Madrid, Manchester United Lepas Pogba Demi Rice, Soler ke Liverpool
Baca juga: Massimiliano Allegri, Jawaban Ambisi Juventus di Liga Champions, Nasib Ronaldo dan Dyabala
Baca juga: Liga Italia: Badai Tiada Henti Guncang Juventus, Bianconeri Enggan Turuti Paulo Dybala
Kebangkitan Lazio dimulai pada 2016, setelah musim yang memalukan.
April 2016, hanya ada 3.000 penonton yang hadir, padahal pemegang tiket musiman Lazio saat itu, adalah 10.000 orang.
Mereka tidak bisa memaafkan kekalahan 4-1 Lazio dari AS Roma di Derby della Capitale, yang membuat Stefano Pioli diepcat.
Simone Inzaghi ditunjuk sebagai caretaker, dan mengemas empat kemenangan dari tujuh laga sisa Liga italia musim 2015/2016.
Dan Lazoio hanya finish di peringkat 8 klasemen akhir Liga Italia.
Tetapi drama belum selesai, Marcelo Bielsa ditunjuk sebagai pelatih Lazio awal musim 2016/2017, pelatih asal Argentina ini setuju.
Hanya berselang 48 jam kemudian, Bielsa mengundurkan diri, alasannya karena Lotito menolak mendatangkan 6 pemain yang diminta oleh Bielsa, akhirnya Simone Inzaghi ditunjuk sebagai pelatih Lazio secara permanen.
Sejatinya, Simone Inzaghi diproyeksikan sebagai pelatih klub Salernitana yang juga dimiliki oleh Lotito, dan saat itu berlaga di Serie B.
Apa lacur, Lazio justru moncer di bawah Simone Inzaghi, memulai liga dengan kemenangan 2-0 atas Empoli, Lazio bertransformasi menjadi tim yang menemukan kejayaannya kembali.
Mereka finish di peringkat 5 klasemen akhir Liga Italia, dan tentu saja tidak ada yang lebih manis dari kemenangan 1-3 atas AS Roma di akhir April, bulan yang sama ketika Simone Inzaghi ditunjuk sebagai pelatih.
Lazio menjadi tim yang sangat mematikan di lini depan, mereka mengemas 74 gol musim tersebut, hanya kalah dari Roma dan Napoli, dan berjarak 3 gol dari pemuncak klasemen.
Gli Aquoti cukup konsisten, meskipun musim 2018/2019 sempat berada di peringkat 8 klasemen, tetapi mereka tidak pernah keluar dari 5 besar klasemen.
Prestasi terbaik mereka adalah musim 2019/2020 di mana Lazio menjadi peringkat 4 akhir klasemen dan tentu prestasi Ciro Immobile sebagai peraih golden boot Eropa dengan 36 gol.
Tetapi yang tidak bisa dilupakan, mereka menjadi juara Coppa Italia pada 2018/2019 dan Supercoppa Italiana pada 2017 dan 2019.
Tidak ada lagi stadion dengan 3.000 penonton, Lazio memiliki rataan 46.000 penonton tiap berlaga di Olimpico, dan konsisten dalam 5 musim terakhir.
Romantisme antara supporter dan klub seolah kembali, hubungan keduanya merenggang ketika Lotito mengambil alih klub pada 2004.
Lotito adalah orang dengan perhitungan bisnis ketat, ia adalah orang pertama di Italia yang menarik keistimewaan Ultras terkait penjualan tiket masuk, dan membuat ultras Lazio sempat melayangkan protes karena kebijakan ini.
Ia sangat hati-hati di bursa transfer, dan menghitung tiap sen pengeluaran klub untuk gaji, operasional hingga perawatan stadion.
Tetapi tidak ada yang melupakan reaksi Lotito ketika Lazio menang atas AS Roma di final Coppa Italia 2013 melalui gol tunggal Senad Lulic di menit 71.
Lotito memeluk semua jajaran direksinya tepat di depan pemilik dan direksi AS Roma yang berada di bawah kusri VIP Stadion Olimpico.
Inilah yang menggambarkan bahwa Lotito mencintai Lazio, dan akan melakukan apapun, tetapi dengan perhitungan cermat dan mencegah kejadian awal 2000 an di mana Lazio mengalami krisis terjadi.
Di bursa transfer, sejatinya tidak ada pendekatan istimewa dari Igli Tare sebagai direktur olahraga, pendekatannya sangat konservatif untuk mendatangkan pemain.
Tetapi kebijakan ketat Claidio Lotito-lah yang membuat lazio bisa sangat strategis dan sehat secara keuangan.
Sebagai gambaran, musim 2019/2020 Juventus menjadi juara dengan transfer 84,3 juta Euro, Lazio menghabiskan 10 Juta Euro saat itu.
Tagihan gaji Lazio, hanya sebesar 72 Juta Euro, bandingkan dengan Juventus (294 Juta Euro), Inter Milan (139 juta Euro), Roma (125 Juta Euro) bahkan Napoli dan Milan dengan 109 Juta Euro.
Kecerdasan untuk mendatangkan Ciro Immobile, Sergej Milinkovic-Savic dan Luis Alberto dengan harga yang tidak mahal, justru menjadi mesin utama Lazio.
Baca juga: Sorotan Pekan Perdana Liga Champions: Ujian Berat Duo Milan & Nostalgia Kenangan Buruk Barcelona
Sedangkan di lini belakang, mereka juga berbenah dan menampilkan konsistensi permainan yang luar biasa.
Sinergi antara menyerang dan bertahan ini tergambar ketika musim lalu, menurut Statbombs, Lazioa dalah tim dengan serangan balik terbaik di Liga Italia, dan menjadi dengan efektifitas serangan terbaik ketiga di bawah Inter Milan dan Atalanta.
Kini di bawah asuhan Maurizio Sarri, era baru Lazio nampaknya akan semakin gemilang.
Di bursa transfer mreka menghabiskan tidak lebh dari 13 Juta Euro untuk mendatangkan 7 pemain.
Dengan permainan Sarriball, Lazio lebih trengginas, dalam 2 laga, Lazio sudah mencetak 9 gol dan memuncaki klasemen sementara.
Ujian besar akan dihadapi mereka ketika akhir pekan ini bersua dengan AC Milan di San Siro, dan Lazio bukan tidak mungkin melanjutkan ketajamannya musim ini.
(Tribunnews.com/Gigih)