"Dia (Jorginho) tidak diragukan lagi pantas memenangkan Ballon d'Or, bukan hanya karena dia memenangkan segalanya tetapi karena dia memainkan peran kunci dalam pencapaian itu," kata Capello dilansir Football Italia.
Di bawah Tuchel, pergerakan Jorginho begitu dinamis, Ia tidak menjadi gelandang bertahan yang berdiri di depan pemain belakang.
Dalam skema 3-4-2-1 milik Tuchel, ia berdiri sejajar bersama Kante, perannya lebih ke depan sebagai pemutus serangan kreator lawan.
Kemampuannya membaca permainan membuat lawan kesulitan untuk mengembangkan permainan.
Laga saat final Liga Champions melawan Manchester City adalah contohnya.
Jorginho tidak jarang naik ke daerah permainan lawan, untuk menutup pergerakan De Bruyne dan Bernardo Silva.
Hasilnya sempurna, De Bruyne dibuat tak berkutik selama babak pertama. Bernardo pun demikian, ia hanya berputar-putar di kotak penalti tanpa melakukan penetrasi seperti yang biasa ia tunjukuan.
Kedua pemain tersebut akhirnya diganti di babak kedua. De Bruyne karena cedera, sedangkan Bernardo karena tak berkembang.
Bagaimana cara Jorginho menutup pergerakan lawan adalah salah satu dari sekian kelebihan Jorginho.
Dilansir FBref, rasio keberhasilan tekel Jorginho bersama Chelsea musim tersebut ada di angka 1,6 tekel per pertandingan, sedangkan total pressure yang ia lakukan mencapai 9,7 pressure per pertandingan.
Angka-angka tersebut berada di atas gelandang bertahan milik Manchester City, Rodri.
Peran Jorginho benar-benar dibutuhkan oleh Tuchel, ia menjadi kunci di lini tengah Chelsea bersama N'golo Kante.
Dari 27 pertandingan yang sudah dilakoni oleh Tuchel musim itu, Jorginho hanya disimpan sebanyak lima kali, sisanya ia selalu menjadi jendral di lapangan tengah Chelsea dan sukses mengantarkan tim yang bermarkas di Stamford Bridge tersebut membawa pulang trofi Si Kuping Besar.
Jorginho kembali tampil apik di Piala Eropa 2020, ia menjadi sosok penting untuk skema 4-3-3 yang diusung oleh Roberto Mancini.