Menariknya lagi, semua build-up dari lini belakang Indonesia tidak berjalan baik, bola rata-rata hilang setelah sentuhan ke 4, dengan Supachok Sarachat, Philip Poiler hingga Bhordin Pala naik untuk menekan.
Ketika mendapatkan tekanan, yang terjadi, distribusi bola Indonesia menjadi sangat buruk, mengandalkan umpan-umpan jauh, yang dengan mudah dipotong oleh pemain Thailand.
Lalu, jarak antar pemain juga sangat jauh, beberapa kali ketika melakukan overlap, baik Asnawi Mangkualam dan juga Edo Febriansyah kesulitan memberikan bola kepada penyerang sayap.
Opsi yang diberikan pun tidak banyak di lini tengah, apalagi dengan cara bermain Thailand yang sangat menekan.
Hadirnya Evan Dimas dikenal sebagai gelandang yang bisa mengubah tempo permainan, hal yang diperlihatkannya di laga melwan Singapura dan Malaysia.
Ia juga tidak pernah jauh dari pemain yang membawa bola, ketika posisinya tertekan, pemain berusia 25 tahun ini bisa membagi bola dan mendistribusikannya ke pemain yang lebih menguntungkan.
Menariknya, Evan Dimas baru 2 kali turun sebagai starter, karena memang cara bermain ala Shin Tae-yong sangat mengandalkan transisi cepat.
Evan Dimas bisa menjadi solusi bagi Indonesia, dengan prosentase distribusi bola yang tinggi (84 persen, 76 persen di wilayah lawan), ia juga bisa menjadi konduktor bagi penyerang Indonesia.
Membalikkan ketertinggalan 4 gol sekali lagi bukanlah hal yang mudah, terlebih melawan Thailand yang secara kualitas masih di atas Indonesia.
Tetapi, dengan taktik yang cermat dan susunan pemain yang tepat, mengejar ketertinggalan 4 gol bukanlah hal yang mustahil.
(Tribunnews.com/Gigih)