TRIBUNNEWS.COM - Melawan Chelsea, Liverpool sangat menjanjikan di menit-menit awal laga dengan berhasil unggul cepat lewat gol dari Sadio Mane dan Mohamed Salah.
Hingga setengah jam pertandingan berjalan, Liverpool benar-benar menguasai laga, dan tidak memberikan ruang untuk Chelsea berkreasi.
Tuan rumah praktis tidak banyak beraksi karena tekanan bertubi-tubi dari tim tamu.
Tetapi dari tekanan tersebut, kelemahan terbesar Liverpool justru muncul berulang kali.
Jarak antar pemain nampak lebar, dengan lini tengah yang terlalu jauh dengan kedua sayap.
Baca juga: Liga Inggris: Ratapan Chelsea & Liverpool di Tengah Melesatnya Performa Manchester City
Baca juga: Manchester United Goyah, Rangnick & Ronaldo Jadi Sasaran, 11 Pemain Ingin Pergi
Selain itu, bentuk penyerangan Liverpool juga tidak rapi dengan banyaknya beberapa posisi yang menumpuk.
Menjadi masalah karena celah ini dengan cerdik dimanfaatkan Chelsea, di mana mereka berulang kali sukses menemukan posisi bebas diantara celah yang ditinggalkan.
Hasil imbang 2-2 adalah hasil yang memilukan bagi Liverpool, namun sejatinya tidak mengejutkan.
Pep Lijnders yang merupakan asisten pelatih dari Liverpool menjelaskan situasinya.
"Kami bisa membuat banyak alasan dari situasi yang kami alami, tetapi para pemain menunjukkan permainan terbaik," ujar Lijnders.
Ini tidak lepas dari absennya Jurgen Klopp karena COVID-19 dan beberapa pemain seperti Fabinho juga sempat terjangkit virus yang sama.
Tetapi faktanya, Liverpool memang sangat kesulitan justru ketika sedang unggul.
Melawan Brentford, mereka unggul 2-1 dan 3-2 sebelum disamakan menjadi 3-3 di menit-menit akhir.
Menghadapi Manchester City di pekan selanjutnya, mereka unggul 2-1 hingga 9 menit pertandingan tersisa dan harus puas dengan satu poin.
Di laga melawan Brighton and Hoves mereka sempat unggul dua gol sebelum justru akhirnya harus bermain imbang 2-2.
Adalah pola dan kata kunci yang sama: kebobolan di menit akhir tiap babak dan celah di lini tengah, mengeksploitasi kelemahan Liverpool di laga tersebut.
Lini tengah Liverpool punya masalah yang mirip dengan Manchester United, penempatan posisi yang kerap keliru dan minimnya opsi.
Fabinho yang biasanya menjadi motor serangan, tampak tidak terlalu banyak menawarkan opsi serangan.
Jordan Henderson yang dikenal punya akurasi umpan yang baik, harus kesulitan dengan prosentase akurasi umpan yang menurun menjadi 73 persen.
Dan di laga melawan Chelsea, Jordan Henderson 16 kali kehilangan bola, dan beberapa kali kehilangan momentum untuk menyusun serangan.
James Milner juga tidak terlalu banyak berkontribusi dan di usia 36 tahun ia nampak frustrasi ketika diganti Naby Keita, yang juga tidak banyak memberikan dampak.
Alex Oxlade-Chamberlain memiliki kontribusi dalam menyerang tetapi dari segi defensif, mantan pemain Arsenal tidak terlalu membantu.
Secara unit di lini tengah Liverpool masih belum bisa menutupi hengkangnya Wijnaldum ke PSG.
Baca juga: Soal Perpanjangan Kontrak, Inter Milan Beda Sikap kepada Perisic & Brozovic
Thiago Alcantara yang juga didatangkan, bukan tidak berkontribusi, tetapi permainan Jurgen Klopp memaksanya untuk tidak terlalu flamboyan, dan lebih menekan.
Banyak agenda yang harus dihadapi Liverpool, dengan absennya pemain untuk membela negara di Piala Afrika, Klopp tentu harus berpikir keras.
Lini depan yang menjadi kekuatan utama harus ditinggal Sadio Mane dan Mohamed Salah, opsi di lini penyerang juga sangat minim untuk mendukung pola bermain The Reds.
Dan masalah belum selesai bagi Liverpool, mengingat kondisi lini tengah mereka yang masih sangat rawan di menit-menit akhir.
Dari segi permainan, cara Liverpool memang masih sangat menghibur, tetapi jelas, Jurgen Klopp masih membutuhkan lebih banyak kerja keras di lini tengah.
(Tribunnews.com/Gigih)