Lalu di laga selanjutnya, Odegaard dipasang menjadi pemain nomor 8 bersama Thomas Partey, dan yang berada di depannya adalah Emile Smith Rowe.
Di dua laga tersebut, ia selalu tampil full time dan mampu menjadi jendral di lapangan tengah sekaligus seorang playmaker bagi The Gunners dengan sama baiknya.
Namun, saat Arteta memakai skema 4-4-2, Odegaard tak mendapat tempat di 11 utama, juru taktik asal Spanyol itu memasang Lacazette untuk mendampingi Aubameyang di depan.
Kekalahan telak The Gunners dalam lawatannya ke Anfield sepertinya mengubah pandangan Arteta untuk kembali menggunakan pakem 4-2-3-1.
Dan memasang Odegaard untuk berdiri di belakang striker utama, pemain buangan Real Madrid itu memang handal dalam urusan membagi bola dan menciptakan peluang berbahaya.
Seperti halnya Brahim Diaz yang tak terpakai di Madrid namun di tangan Pioli ia disulap menjadi trequartista mentereng di AC Milan, Arteta mencoba melakukan pendekatan seperti itu.
Saat memakai skema 4-2-3-1, Arteta butuh seorang playmaker yang mampu menguasai ruang antar lini guna memperlancar aliran bola dalam fase menyerang The Gunners.
Progresi serangan yang diterapkan Mikel Arteta kerap dimulai dari lini belakang, dengan mengutamakan ball possesion.
Itu membuat Arteta membutuhkan sosok gelandang yang dapat mengontrol bola dengan baik dan memiliki kualitias passing yang mumpuni, sehingga dapat menjadi penghubung dari lini bertahan ke lini serang.
Akurasi passing Odegaard per pertandingan bersama The Gunners musim ini mencapai 38.3 (90%).
Itu menjadi yang tertinggi dari gelandang Arsenal lainnya.
Kelebihan Odegaard yang tak dimiliki gelandang The Gunners lainnya adalah kemampuannya menemukan ruang di lini tengah dan pertahanan lawan.
Odegaard juga mempunyai kemampuan teknis untuk mengirim umpan terobosan dengan bola chip, teknik tersebut dapat membuka ruang sempit yang ada di pertahanan lawan.
Kemampuannya tersebut sangat membantu para penyerang Arsenal, khususnya ketika sudah berada di area sepertiga akhir lawan.