TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pertengahan Juli 2016 bakal jadi momentum bersejarah bagi Line.
Layanan chatting asal Jepang dan Korea Selatan itu hendak melakukan penawaran saham umum perdana alias initial public offering (IPO).
Line berencana melantai di dua bursa sekaligus, yakni di Tokyo dan New York.
Pengajuan izin penawaran telah dilayangkan ke otoritas masing-masing, namun baru bursa Tokyo yang secara resmi merestui langkah Line.
"Di Tokyo sudah di-approve per 10 Juni," kata PR Director Line Indonesia, Dhyoti R. Basuki, Selasa (21/6/2016), dalam sebuah media gathering di Sentral Senayan 3, Jakarta.
Sementara itu, untuk bursa New York, berkas pengajuan Line masih dalam proses di badan sekuritas Amerika Serikat.
Menurut Dhyoti, kejelasannya akan diketahui pada Juli mendatang.
"Kami masih menunggu semua proses rampung," ujarnya.
Beberapa pihak memprediksi Line bakal mendapat dana segar lebih dari 900 juta dollar AS atau Rp 12 triliun pada pelemparan saham perdananya. Dhyoti belum mau mengonfirmasi prediksi itu.
Yang jelas, kata dia, IPO di dua bursa bertujuan mengukuhkan posisi bisnis Line di ranah internasional.
Pasalnya, pengguna Line saat ini masih terpusat di Jepang, Taiwan, Thailand, dan Indonesia.
Amerika dan Eropa masih didominasi WhatsApp, sementara China masih sangat mengandalkan WeChat.
"Kami mau go global, makanya kamu ajukan IPO satu di negara asal kami, satu di bursa global," Dhyoti menuturkan.
Diketahui, jumlah pengguna aktif bulanan Line saat ini mencapai 218 jutaan.
Angka itu masih tertinggal jauh jika dibandingkan kompetitornya, WeChat (650 jutaan) dan WhatsApp (1 miliar).
Line diluncurkan pada tahun 2011, setelah gempa bumi dan tsunami melanda Jepang dan mengakibatkan gangguan layanan telepon.
Kemudian, kepemilikan Line dipegang Naver, perusahaan operator portal internet terbesar Korea Selatan.
Selain pesan teks, Line menyediakan fitur panggilan suara dan video secara cuma-cuma. Pendapatannya diperoleh dari penjualan aneka stiker, game, dan penempatan iklan.
Pada 2013, pendapatan Line tercatat 34 miliar Yen atau sekitar Rp 4,2 triliun. Pada 2015, angkanya naik tiga kali lipat mencapai 110 miliar Yen atau Rp 13,7 triliun.