TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Popularitas Telegram kian tenar berbekal aksi penolakan sejumlah negara atas kehadiran layanan pengiriman pesan ini. Terbaru, Pemerintah Indonesia memblokir layanan pengiriman pesan Telegram karena dinilai memfasilitasi komunikasi dengan sejumlah teroris.
Jauh sebelum Indonesia melarang layanan pesan lewat Telegram, sejumlah negara sudah lebih dahulu memblokir Telegram dengan alasan keamanan.
Di negara asalnya, Rusia, Telegram pernah mendapat penolakan karena dikhawatirkan membawa ancaman bagi stabilitas keamanan.
Pendiri Telegram, Paul Durov menyangkal tudingan aplikasi ciptaannya tersebut menjadi saluran terkait teroris dan ancaman keamanan negara.
Dia justru mengkritik sejumlah negara seperti Arab Saudi, China, Oman, Iran, Rusia dan Indonesia yang melarang pemakaian Telegram sebagai saluran komunikasi.
Larangan tersebut tentu telah merugikan bisnis Telegram di tengah perkembangan wahana media sosial ini yang terus menanjak.
Durov mengklaim, Telegram saat ini memiliki 100 juta pengguna aktif setiap bulannya. Jumlah itu bakal terus bertambah dengan perolehan 350.000 pengguna baru yang setiap hari ikut bergabung memanfaatkan jasa layanan Telegram.
Durov menyatakan, sebanyak 15 miliar pesan terkirim di Telegram saban harinya.
Terkait isu terorisme, telah berkali-kali dibantah Durov. Namun isu itu terus menjadi alasan bagi sejumlah negara untuk memblokir layanan Telegram.
Lewat laman Twitternya, Durov menyebut ini semua adalah persaingan bisnis. Kata dia, raksasa teknologi seperti Google, Apple, Facebook dan WhatsApp khawatir dengan Telegram yang memberikan layanan privasi lebih dalam berkomunikasi.
Selama ini, kata Durov, masyarakat di dunia tak mengetahui bahwa raksasa-raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) tersebut telah melakukan pelanggaran data.
Bahkan pria yang aktif di sejumlah media sosial ini menuding sejumlah perusahaan teknologi tersebut telah melakukan serangkaian aksi kecurangan.
Menurut Durov, aksi yang mendiskreditkan Telegram tak lain hanya demi kepentingan kue iklan.
"Tanpa sadar, data Anda di WhatsApp telah dijual ke pengiklan. Mereka mengklaim bahwa layanan mereka aman, padahal semua data Anda dijual kepada negara tempat dimana mereka berbisnis. Inilah kasus kecurangan konsumen terbesar dalam sejarah manusia," tandas Durov.