TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kita mungkin kenal orang yang memiliki nama seperti Mita, Aisyah, Tasia, Tarra. Tapi nama-nama itu ternyata juga dipakai oleh virtual assistant atau yang populer dengan istilah chatbot.
Kini, makin banyak perusahaan di Indonesia yang telah mengimplementasikan chatbot. Alasannya berbagai macam seperti adanya perubahan perilaku dan gaya hidup konsumen, pelanggan yang semakin melek teknologi dengan beralih ke kanal digital, pelanggan yang ingin solusi yang cepat dan mudah yang dihantarkan melalui perangkat dalam genggaman mereka.
Lembaga riset Gartner memprediksi, 25 persen layanan dan dukungan pelanggan dari merek atau organisasi bisnis akan mengintegrasikan Virtual Costumer Assistant (VCA) atau teknologi chatbot di semua kanal interaksinya dengan pelanggan di tahun 2020.
Studi Gartner juga menyebut adanya penurunan jumlah permintaan pelanggan melalui telepon, chat, dan atau email sebesar 70 persen pada organisasi bisnis yang telah menerapkan VCA. Juga didapati bahwa kepuasan pelanggan meningkat dan ada penghematan biaya sebesar 33 persen per voice engagement.
Riset Gartner juga memaparkan perubahan preferensi bisnis dari aplikasi seluler ke aplikasi perpesanan sebagai salah satu faktor adopsi chatbot. Adanya biaya untuk dukungan teknis, pemeliharaan pembaruan, layanan pelanggan, dan pemasaran untuk mendorong pelanggan mengunduh aplikasi menjadikan aplikasi seluler tidak lagi menarik bagi bisnis.
Sebagai gantinya, merek atau organisasi bisnis kini memanfaatkan aplikasi perpesanan seperti Facebook Messenger, WhatsApp, WeChat, dan LINE, dan mengintegrasikan chatbot ke dalamnya.
Chatbot semakin pintar berkat kecanggihan teknologi: natural language processing, machine learning, dan intent matching. Sehingga merek atau organisasi bisnis mau mengadopsi chatbot.
Para pebisnis mulai menikmati keunggulan chatbot yang dapat memberikan automated self-service dan tetap dapat meneruskan permintaaan pelanggan ke agen manusia ketika berhadapan dengan situasi yang kompleks.
Baca: BW Sempat Teriaki dan Usir Tim Hukum KPU Saat Cekrek-cekrek di Luar Ruang Sidang
Peningkatan adopsi chatbot di lingkungan organisasi bisnis juga akibat dari tren otomatisasi.
Juga kemampuan chatbot dalam menangani isu-isu yang sifatnya umum dan proses bisnis yang dilakukan secara repetitif membuatnya diterima hangat oleh organisasi bisnis.
Baca: Kepergok Pelesiran ke Toko Bangunan, Setya Novanto Ternyata Melarikan Diri
Transparency Market Research memperkirakan nilai pasar chatbot global akan mencapai US$994,5 juta pada 2024. Secara regional, Asia Pasifik diramalkan akan menjadi pemimpin dalam hal infrastruktur teknologi yang akan memungkinkan perluasan layanan chatbot.
Implementasi Chatbot
Sonny Hastomo, founder dan CEO InMotion, menjelaskan saat hendak mengimplementasikan chatbot, paling tidak ada lima aspek yang harus dipersiapkan sebuah merek atau organisasi.
Pertama, menentukan target audiens dan menetapkan fungsi inti dari chatbot. Kedua, menetapkan dimana peran chatbot dalam perjalanan dan pengalaman pelanggan yang akan disalurkan (intent mapping, persona, dan user story).
Ketiga, mempersiapkan knowledge based dan conversational flow. Keempat, menentukan proses bisnis dari si chatbot. Kelima, mempersiapkan tim untuk pengelolaan chatbot ke depannya.
Saat implementasi chatbot sudah selesai masih ada yang harus dilakukan yaitu agen manusia terus melatih chatbot supaya jadi lebih pintar dan luwes.
Chatbot bukan hanya dilatih dalam hal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait layanan dari merek atau organisasi saja, tapi juga yang sifatnya small talk (obrolan).
Dia mengatakan, tantangan terbesar yang sering ditemui saat implementasi chatbot adalah besarnya ekspetasi terhadap kemampuan chatbot. Yang seringkali berada diluar fungsi yang sudah dikembangkan.
"Solusinya, selain mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan saat implementasi chatbot maka merek atau organisasi juga harus memastikan adanya mekanisme human fallback untuk menangani permintaan dari pelanggannya,” ujar Sonny.