TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Platform media sosial Facebook sedang mendapat kecaman keras atas algoritma Facebook yang dituding memperkuat kebencian terhadap etnis Rohingya.
Facebook dikecam tidak melibatkan pemeriksa fakta yang tahu benar situasi politik di Myanmar dan dinilai tidak serius menghapus setiap postingan ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya.
Sebagai reaksinya, puluhan pengungsi Rohingya asal Myanmar di AS dan Inggris ramai-ramai menggugat Facebook karena dituding sengaja membiarkan konten-konten ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya di platform-nya.
Dilansir BBC, warga Rohingya menuntut kompensasi sebesar lebih dari USD 150 miliar (sekira Rp2.161 triliun) kepada raksasa media sosial itu.
Facebook diklaim mempromosikan kekerasan terhadap minoritas Rohingya.
Diketahui, sekitar 10.000 muslim etnis Rohingya tewas selama aksi penyerangan oleh militer Myanmar yang mayoritas Buddha pada 2017 silam.
Baca juga: Kominfo Temukan 2010 Berita Hoaks Tentang Covid-19, Terbanyak di Facebook, Ada 4493 Unggahan
Facebook, yang telah berganti nama Meta, belum menanggapi tuntutan ini.
Adapun para pengungsi Rohingya menuduh Facebook membiarkan penyebaran "misinformasi yang penuh kebencian dan berbahaya untuk berlanjut selama bertahun-tahun".
Baca juga: Dianggap Tebar Kebencian dan Keributan, Netizen Bikin Petisi Boikot Nikita Mirzani
Di Inggris, sebuah firma hukum Inggris yang mewakili beberapa pengungsi telah menulis surat ke Facebook dengan beberapa poin pernyataan.
Pertama, algoritma Facebook disebut memperkuat kebencian terhadap warga Rohingya.
Kedua, perusahaan ini tidak melibatkan pemeriksa fakta yang tahu benar situasi politik di Myanmar.
Baca juga: Wanita Korban Perampokan di Jaktim Justru Dimarahi Polisi Saat Lapor, Videonya di Medsos Jadi Viral
Ketiga, Facebook dinilai gagal menghapus postingan atau akun penghasut kekerasan terhadap etnis minoritas ini.
Medsos buatan Mark Zuckerberg juga dinilai gagal bertindak cepat terkait hal ini meskipun sudah banyak laporan dari badan amal dan media.
Di AS, pengacara mengajukan keluhan hukum terhadap Facebook di San Francisco, menuduhnya "bersedia memperdagangkan nyawa orang-orang Rohingya untuk penetrasi pasar yang lebih baik di negara kecil di Asia Tenggara."
Mereka mengutip laporan Reuters pada 2013 silam soal postingan ujaran kebencian terhadap Rohingya di Facebook yang menyatakan: "Kita harus melawan mereka seperti yang dilakukan Hitler terhadap orang-orang Yahudi."
Postingan lainnya mengatakan: "Tuangkan bahan bakar dan nyalakan agar mereka dapat bertemu Allah lebih cepat."
Facebook memiliki lebih dari 20 juta pengguna di Myanmar.
Media sosial ini menjadi cara utama atau satu-satunya untuk mendapatkan dan berbagi berita.
Pada 2018 lalu, Facebook mengaku bahwa pihaknya tidak cukup bisa mencegah hasutan kekerasan dan ujaran kebencian terhadap Rohingya.
Rohingya dianggap sebagai migran ilegal di Myanmar.
Etnis minoritas ini bahkan mendapat diskriminasi dari pemerintah dan publik selama beberapa dekade.
Pada 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras di negara bagian Rakhine setelah militan Rohingya melakukan serangan mematikan terhadap pos polisi.
Ribuan orang tewas dan lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Kebakaran kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh (Aljazeera, Shafiqur Rahman/AP)
Militer Myanmar diyakini melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk pembunuhan sewenang-wenang, pemerkosaan, dan pembakaran tanah.
Pada 2018, PBB menuduh Facebook "lambat dan tidak efektif" dalam menanggapi penyebaran kebencian secara online.
Di bawah hukum AS, Facebook sebagian besar dilindungi dari kewajiban atas konten yang diposting oleh penggunanya.
Namun gugatan baru itu berpendapat bahwa hukum Myanmar, yang tidak memiliki perlindungan seperti itu, harus menang dalam kasus ini.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)