TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Inisiatif Bank Indonesia membawa Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) sebagai alat pembayaran global makin nyata. Saat ini, BI sedang menguji coba penerapan QRIS bersama otoritas sistem pembayaran di Malaysia dan Thailand.
Teknologi QR Code ini menjanjikan segudang keunggulan dari efisiensi, kecepatan, hingga kemudahan dalam penggunaannya.
Maklum, nasabah perbankan maupun fintech payment cukup membawa ponsel pintarnya saat melancong ke luar negeri.
Selama terhubung dengan jaringan internet, nasabah tinggal memindai QR merchant. Dalam hitungan sepersekian detik, transaksi pun sukses.
Bahkan transaksi ini tetap mengandalkan mata uang rupiah di bawah payung currency settlement (LCS).
Skema LCS memungkinkan penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara.
Baca juga: QRIS Bakalan Jadi Alat Pembayaran Global Masa Depan
Lantaran setelmen transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing. Kendati demikian, teknologi selalu mengandung ancaman siber dari oknum tak bertanggung jawab.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan saat awal pengenalan kartu kredit kedua negara ini paling banyak mencatatkan laporan penyelewengan.
Baca juga: BNI Catatkan Jumlah Transaksi QRIS Sebanyak 1,5 Juta Kali di Maret 2022
“Mulai dari spam sampai transaksi awal-awal. Bila bekerjasama dengan Malaysia dan Thailand, maka harus benar-benar diperhatikan terkait keamanan transaksi. Jangan sampai menimbulkan hacker dan cyber crime yang bisa merusak tatanan QRIS ini,” ungkapnya.
Terlebih, Amin melihat kesiapan Indonesia untuk teknologi informatika baik kebijakan, hukum, infrastruktur masih belum optimal.
Baca juga: Transaksi di Pasar Rangkasbitung Lebak Banten Kini Menggunakan QRIS
Terkadang penegak hukum, lembaga keuangan, hingga masyarakat ada yang belum siap.
Pakar keamanan siber sekaligus Kepala lembaga riset siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha menyatakan banyak pelaku kejahatan membuat QR Code palsu untuk mengarahkan ke rekening lain dan juga ke website berisi malware.
Dia mengatakan, pada kejadian di 2014 silam, otoritas China menghentikan pembayaran dompet digital sementara dalam waktu lama.
Saat itu AliPay dan WeChat Pay menjadi alat pembayaran utama bahkan hingga di pasar dan warung-warung.