TRIBUNNEWS.COM -- Pakar Bisnis Prof Rhenald Kasali menyampaikan bahwa gelombang disrupsi kedua tengah dihadapi industri startup.
Menyusul penutupan Silicon Valley Bank dan dua bank lain di Amerika Serikat, ia menegaskan “Gelombang disrupsi kali ini menyangkut perubahan paradigma bisnis, dari era keberlimpahan dana investasi akibat kebijakan bunga rendah di Amerika Serikat menjadi sebaliknya.”
Ia menandaskan, disrupsi pertama telah berlangsung sekitar 15 tahun (2007-2022). Korbannya, pelaku usaha “brick and mortar” seperti Nokia, Kodak, Sears, sejumlah retail konvensional, ruang-ruang perkantoran, dan media massa berbasiskan kertas.
Baca juga: Silicon Valley Bank Bangkrut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Minta Indonesia Waspada
Startup memasuki puncak kejayaannya selama pandemi. “Dan itu dicapai berkat keberlimpahan dana investor berbiaya modal rendah,” tambahnya
Disrupsi Gelombang Pertama itu dipicu oleh bunga pinjaman rendah yang diambil investor-investor baru pemburu kenaikan valuasi.
Startup berhasil merebut pasar melalui teknik bakar uang yang menghasilkan “top line” (revenue) yang impresif dan merebut hati investor pemburu valuasi tinggi.
“Tetapi valuasi melalui metode bakar uang seperti itu belum bisa dikatakan membentuk market yang stabil,” tambahnya lagi.
“Kini suku bunga bank yang tinggi menjadi game changer. Untuk menekan inflasi tinggi, sejak Juli lalu the Fed di Amerika Serikat meningkatkan suku bunga dengan cepat sehingga para investor menarik uangnya dari investasi di perusahaan teknologi ke deposito bank atau surat berharga pemerintah yang memberikan return lebih tinggi.
Pengurangan sumber dana dari investor memaksa perusahaan teknologi putar arah. Dari valuasi ke efisiensi, dari top line ke bottom line. Maka penyehatan menjadi keharusan. Era Bakar duit berakhir.”
Ia mencontohkan PT GoTo Gojek Tokopedia (GoTo), yang kembali melakukan penyehatan organisasi, memangkas biaya yang duplikasi.
Baca juga: Buntut Keruntuhan Silicon Valley Bank, The Fed Gelar Penyelidikan Internal
“GoTo tengah memasuki masa penyehatan, menipiskan lemak akibat redundancy.
Merger Gojek dan Tokopedia telah menghasilkan banyak potensi sinergi dan tentu harus dibarengi dengan operasional yang lebih efisien.
Kini GoTo harus lebih disiplin dan berfokus pada bisnis inti yang menghasilkan return on investment.
Kalau GoTo berhasil, maka ia akan menjadi lebih lincah mengejar target profitabilitasnya di akhir tahun ini, apalagi target ini dipercepat 1,5 tahun dari rencana awal.
Sekalian meraih sales yang tak segemerlap dulu, tetapi benar-benar real sales, bukan karena bakar duit.”
Baca juga: Bursa Saham Asia Anjlok di Tengah Kekhawatiran Investor Atas Kebangkrutan Silicon Valley Bank
Ia membandingkan GoTo dengan startup lain yang masih menunggu profit dan mencontohkan Sea Limited (Singapore) yang justru meraih untung di atas Rp 6 Triliun pada Q4 2022, padahal bisnis gaming unit Garena merosot 32.9 persen, dari $1.41 miliar pada tahun sebelumnya menjadi $948.8 juta pada kuartal itu.
Perusahaan internet raksasa yang sudah menguntungkan seperti Meta pun melakukan perampingan organisasi dengan memangkas kembali 10,000 karyawan. Mereka menganggap “leaner is better” atau semakin ramping semakin bagus.
“Sea kehilangan market gaming Free Fire yang dilarang di India. Cukup besar, tapi dengan mengurangi bakar duit, bahkan merampingkan SDM, kini jauh lebih sehat. Era baru telah datang, mindset para merchant, driver, UMKM pengguna bisnis online, anak-anak yang bekerja di startup dan kita yang menyaksikannya juga harus berubah,” tutupnya.