Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, SAN FRANCISCO - CEO Alphabet Inc. dan Google Sundar Pichai mengatakan dorongan untuk mengadopsi kecerdasan buatan (AI) harus diatur dengan baik guna menghindari efek berbahaya.
Ketika ditanya dalam sebuah wawancara "60 Minutes" mengenai apa yang membuatnya terjaga di malam hari terkait perkembangan teknologi AI, Pichai mengatakan "urgensi untuk bekerja dan menerapkannya dengan cara yang bermanfaat, tetapi pada saat yang sama dapat menjadi sangat berbahaya jika digunakan dengan cara yang salah".
Dikutip dari Bloomberg, Google yang berbasis di Mountain View, California, menjadi salah satu yang terdepan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan AI di seluruh layanannya.
Perangkat lunak seperti Google Lens dan Google Photos mengandalkan sistem pengenalan gambar milik perusahaan, sementara Google Assistant-nya mendapat manfaat dari penelitian pemrosesan bahasa alami yang telah dilakukan Google selama bertahun-tahun.
Namun, langkahnya dalam menerapkan teknologi ini sengaja diukur dan berhati-hati, sedangkan chatbot AI yang dikembangkan OpenAI, ChatGPT, telah memacu perusahaan teknologi lainnya untuk bergerak maju mengembangkan alat AI dengan cepat.
"Kami belum memiliki semua jawaban di sana, dan teknologinya bergerak dengan cepat. Jadi, apakah hal itu membuat saya terjaga di malam hari? Tentu saja," kata Pichai dalam wawancara yang disiarkan pada Minggu (16/4/2023).
Google kini sedang mengejar ketertinggalan dalam menanamkan teknologi AI generatif ke produknya, perangkat lunak yang dapat membuat teks, gambar, musik, atau bahkan video berdasarkan permintaan pengguna.
ChatGPT dan produk OpenAI lainnya, Dall-E, menunjukkan potensi teknologi ini, dan banyak perusahaan dari Silicon Valley hingga pemimpin internet di China kini ikut terlibat dalam menghadirkan produk AI mereka sendiri.
Baca juga: Meta Rilis SAM, Teknologi AI Syang Bisa identifikasi Item di Video
Mantan CEO Google, Eric Schmidt, mendesak perusahaan-perusahaan teknologi global untuk bersatu dan mengembangkan standar serta "pagar pembatas" yang tepat, dan memperingatkan setiap perlambatan dalam pengembangan teknologi ini "hanya akan menguntungkan China".
Terlepas dari rasa urgensi dalam industri ini, Pichai memperingatkan agar perusahaan-perusahaan tidak hanyut dalam dinamika persaingan. Dan ia menemukan pelajaran dari pengalaman pendekatan OpenAI yang lebih langsung dan debut ChatGPT.
Baca juga: Teknologi AI Dinilai Bisa Gantikan 300 Juta Pekerjaan, Sektor Administrasi dan Hukum Paling Berisiko
"Salah satu poin yang mereka sampaikan adalah, Anda tidak ingin mengeluarkan teknologi seperti ini ketika teknologi tersebut sangat, sangat kuat karena tidak memberikan waktu bagi masyarakat untuk beradaptasi," ujar Pichai.
"Saya pikir itu adalah perspektif yang masuk akal. Saya pikir ada orang-orang yang bertanggung jawab di sana yang mencoba mencari cara untuk mendekati teknologi ini, begitu juga dengan kami," sambungnya.
Di antara risiko AI generatif yang disoroti Pichai adalah video deepfake, di mana seseorang dapat digambarkan mengucapkan pernyataan yang sebenarnya tidak mereka berikan. Jebakan seperti itu menggambarkan perlunya regulasi, kata Pichai.
"Harus ada konsekuensi untuk membuat video deepfake yang membahayakan masyarakat," katanya.
"Siapa pun yang pernah bekerja dengan AI untuk sementara waktu, Anda pasti menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang sangat berbeda dan sangat dalam sehingga kita membutuhkan peraturan masyarakat untuk memikirkan cara beradaptasi," imbuh Sundar Pichai.
Baca juga: Samsung Benamkan Teknologi AI di Kamera Galaxy A54, Seberapa Canggih?
Dalam wawancara tersebut, pewawancara Scott Pelley mencoba beberapa proyek AI milik Google dan mengatakan dia "tidak bisa berkata-kata".
Pelley juga merasa itu "meresahkan", mengacu pada kemampuan teknologi tersebut yang menyerupai manusia seperti produk chatbot AI yang dikembangkan Google, Bard.
"Kita perlu beradaptasi sebagai masyarakat untuk itu," kata Pichai kepada Pelley, seraya menambahkan pekerjaan yang akan terganggu oleh AI akan mencakup "pekerja pengetahuan", termasuk penulis, akuntan, arsitek, dan ironisnya, bahkan insinyur perangkat lunak.
"Sebagai contoh, Anda mungkin seorang ahli radiologi, jika Anda berpikir tentang lima hingga sepuluh tahun dari sekarang, Anda akan memiliki kolaborator AI bersama Anda. Anda datang di pagi hari, katakanlah Anda memiliki seratus hal yang harus diperiksa, ia akan berkata, 'ini adalah kasus paling serius yang harus Anda periksa terlebih dahulu'," kata CEO Google itu, yang dilansir dari CNBC.
Ketika memperingatkan konsekuensi AI, Pichai mengatakan skala masalah disinformasi dan berita serta gambar palsu akan "jauh lebih besar". Dia juga mengatakan bahwa "hal tersebut dapat membahayakan".
Google meluncurkan chatbot AI Bard sebagai produk eksperimental kepada publik pada bulan lalu. Peluncuran itu dilakukan menyusul pengumuman Microsoft pada Januari bahwa mesin pencarinya, Bing, akan menyertakan ChatGPT.
Namun, kekhawatiran akan konsekuensi dari kemajuan pesat ini juga telah sampai ke publik dan para kritikus dalam beberapa minggu terakhir.
Elon Musk, Steve Wozniak, dan puluhan akademisi menyerukan penghentian sementara pelatihan "eksperimen" yang terhubung ke model bahasa besar (LLM) yang "lebih kuat dari GPT-4", LLM unggulan OpenAI.
Lebih dari 25.000 orang telah menandatangani surat tersebut pada bulan lalu.
Ketika ditanya apakah masyarakat siap dengan teknologi AI seperti Bard, Pichai menjawab, "Di satu sisi, saya merasa tidak, karena kecepatan kita berpikir dan beradaptasi sebagai institusi masyarakat, dibandingkan dengan kecepatan perkembangan teknologinya, tampaknya ada ketidakcocokan."
Namun, dia mengaku optimis karena dibandingkan dengan teknologi lain di masa lalu, "jumlah orang yang mulai mengkhawatirkan implikasinya" sudah mulai muncul sejak dini.