IDCI Kritisi Strategi Relaksasi Aturan TKDN di Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI IT - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan paket perundingan Non-Tarif Measure (NTMs) melalui relaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap Amerika Serikat. IDCI menilai Langkah tersebut merupakan respons cepat dan strategis atas kebijakan tarif resiprokal 32 persen yang dikenakan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia.
ILUSTRASI IT - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan paket perundingan Non-Tarif Measure (NTMs) melalui relaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap Amerika Serikat. IDCI menilai Langkah tersebut merupakan respons cepat dan strategis atas kebijakan tarif resiprokal 32 persen yang dikenakan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan paket perundingan Non-Tarif Measure (NTMs) melalui relaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap Amerika Serikat. 

Indonesian Digital & Cyber Institute (IDCI) menilai Langkah tersebut merupakan respons cepat dan strategis atas kebijakan tarif resiprokal 32 persen yang dikenakan Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia.

Baca juga: IDCI Soroti UU TNI: Bicara Kedaulatan Siber dan Pertahanan Siber, Harusnya TNI yang Utama

Kebijakan itu menjadi titik balik penting dalam hubungan ekonomi bilateral, sekaligus menjadi ujian bagi ketahanan dan kemandirian ekonomi digital Indonesia di tengah ketegangan geopolitik dan perang dagang global.

Direktur Eksekutif IDCI, Yayang Ruzaldy mengatakan sebenarnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan jalur diplomasi dan menghindari retailisasi menunjukkan kepemimpinan yang pragmatis dan pro-investasi.

“Dengan memilih jalur diplomasi dan menghindari retailiasi, pemerintah berusaha menjaga iklim investasi tetap kondusif dan membuka peluang kerja sama teknologi dengan perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat, seperti Microsoft, Oracle, Apple, dan General Electric. Pelonggaran TKDN memang dapat membuka pintu bagi percepatan infrastruktur digital, peningkatan kompetensi sumber daya manusia, dan penguatan ekosistem startup nasional,” kata Yayang, Rabu (9/4/2025).

Tetapi Yayang mengingatkan kebijakan tersebut disisi lain mengandung resiko strategis yang harus mendapatkan perhatian lebih terutama sekali dalam hal kemandirian teknologi nasional. 

TKDN yang dilonggarkan tanpa kerangka kerja jangka panjang berpotensi mengakibatkan industri lokal kehilangan daya saing.

"TKDN tidak hanya menjadi alat regulasi, tetapi juga menjadi instrumen pengembangan industri lokal, pendorong transfer teknologi, dan mekanisme untuk menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan kemampuan riset dalam negeri. Ketika TKDN dilonggarkan tanpa kerangka kerja jangka panjang yang kuat, industri lokal dapat kehilangan daya saing, dan Indonesia akan kembali terjebak dalam ketergantungan teknologi asing, baik dari sisi perangkat keras maupun perangkat lunak,” ungkapnya.

Begitu juga dengan kedaulatan digital dan keamanan nasional ikut terancam imbas dari penguasaan infrastruktur TIK strategis yang dimiliki oleh korporasi global yang tidak tunduk pada kedaulatan hukum Indonesia.

"Dalam konteks ini, relaksasi TKDN seharusnya tidak menjadi kemunduran, tetapi menjadi jembatan negosiasi sementara yang disertai dengan prasyarat yang ketat, seperti kewajiban alih teknologi, kolaborasi riset, pelibatan tenaga kerja lokal yang terampil, dan investasi pembangunan pusat inovasi bersama-misalnya di Batam yang kini diarahkan sebagai pusat digital nasional,” terang Yayang.

Sehingga, IDCI menawarkan solusi jangka panjang supaya pemerintah mulai mengembangkan pendekatan TKDN yang lebih memperhitungkan nilai-nilai lokal.

“Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah perlu mulai mengembangkan pendekatan TKDN 2.0-model penghitungan nilai lokal yang tidak hanya berfokus pada komponen fisik, tetapi juga memperhitungkan penguasaan kekayaan intelektual, kontribusi terhadap riset lokal, dan dampaknya terhadap ekosistem inovasi nasional. Dalam kerangka ini, insentif relaksasi dapat digunakan sebagai alat diplomasi ekonomi yang juga memperkuat fondasi kemandirian, bukan sekadar membuka pasar bagi teknologi asing,” jelasnya.

Baca juga: GAPMMI Desak Pemerintah Ambil Langkah Strategis Atasi Tarif Impor Trump: Pertahankan Kebijakan TKDN

Yayang kemudian menyampaikan data realisasi ekspor-impor perangkat teknologi informasi dan komunikasi Indonesia dalam kaitannya dengan produk teknologi, Amerika Serikat mendominasi ekspor TIK Indonesia berkisar pada 29 persen.

Namun, China mendominasi impor TIK Indonesia hingga 65 persen. Sehingga yang bergesekan adalah antara AS dengan China tapi ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terdampak.

“Jangan sampai perundingan ini menjadi preseden yang berbahaya, di mana negara lain melihat bahwa Indonesia mudah ditekan dengan instrumen tarif, kemudian “ditenangkan” melalui relaksasi regulasi yang bersifat jangka pendek. Jika hal itu terjadi, kita bisa kehilangan momentum besar dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 sebagai negara maju yang berbasis inovasi dan teknologi,” tambahnya.

“Maka dari itu, relaksasi TKDN menjadi salah satu opsi yang bisa ditempuh, dimana setiap langkah diplomasi ekonomi harus dikawal dengan peta jalan industrialisasi teknologi yang kuat, terukur, dan konsisten, agar Indonesia tidak hanya bertahan di tengah tekanan global, tetapi benar-benar menjadi kekuatan digital baru di Asia,” tutupnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini