Laporan Reporter Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, JOGJA - Masjid Gede Mataram di Kotagede bisa jadi pilihan wisata religi muslim di Yogyakarta karena faktor usianya yang sudah tua dan bersejarah. Apa saja nilai-nilai pendidikan sejarah di masjid ini?
Asal tahu saja, Masjid Gede Mataram Kotagede adalah Masjid tertua yang ada di Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada tahun 1587 M oleh Panembahan Senopati Sutowijaya.
Secara admintrasi masjid ini masuk ke dalam wilayah Dusun Sayangan RT 04 Jagalan, Kecamatan Baguntapan, Kabupaten Bantul.
Masjid Agung Mataram Kotagede bisa ditemukan dengan menyusuri jalan di sebelah barat pasar Kotagede, lalu ikuti Jalan Watu Gilang ke arah selatan hingga menemukan papan nama Masjid Agung Mataram Kotagede dan Makam Raja Mataram Kotagede
Berdasarkan cerita dari salah satu pengurus Takmir Masjid Gede Kotagede, Warisman, sebelum Panembahan Senopati Suto Wijoyo membangun masjid, Ayah beliau yang bernama Ki Ageng Pemanahan terlebih dahulu membuat sebuah Langgar di sekitar Masjid yang saat ini berdiri.
“Ceritanya wilayah ini dahulunya berupa hutan yang bernama alas Mentaok. Diberikan oleh Hadi Wijoyo selaku Raja di Kerajaan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan karena berhasil mengalahkan Adipati Aryo Penangsang”, cerita Warisman.
Karena Ki Ageng Pamenahan ingin menyiarkan agama Islam di wilayah Jawa bagian selatan yang pada masa itu belum mengenal Islam, maka beliau mendirikan Langgar di Alas Mentaok.
Perjuangan menyiarkan Islam tersebut diteruskan oleh putranya, Panembahan Senopati Sutowijya.
Pada masa Panembahan Senopati Sutowijaya tersebut dibangun Masjid Gede Mataram.
“Dalam pembagunan Masjid ini, kayu yang digunakan adalah kayu jati yang berasal dari Cepu dan Blora. Kayu yang digunakan merupakan kayu jati pilhan, makanya kayu-kayu tersebut bisa bertahan hingga saat ini”, ungkap Warisman.
Selain kayu yang masih asli, tembok dan struktur bangunan masjid tersebut masih sama dengan bentuk aslinya.
Di dalam masjid juga terdapat Bedug yang diberi nama Kyai Dondong dan mimbar yang umurnya sama degan Masjid Gede Mataram Kotagede.
“Bedug Kyai Dondong hingga saat ini masih bisa digunakan. Satu hari menjelang Ramadan bedug tersebut pasti ditabuh sebagai tanda bulan Ramadan telah tiba”, tambah Warisman.
Tumpuk Tiga Pada Bangunan Utama
Bangunan Masjid Gede Mataram Kota Gede memiliki atap tajug (lambang gantung) tumpuk tiga pada bangunan utama dengan mustoko berbentuk gada dan ditopang dengan empat tiang.
Gada tersebut melambangkan sahadat dan keempat tiang melambangkan salat, puasa, zakat, dan haji. “Mustoko dan keempat tiang yang ada di Masjid ini melambangkan rukun Islam”, terang Warisman.
Bangunan masjid terbagi dalam lima bagian, yakni kuncungan yang menjadi akses utama menuju bagian dalam masjid. Bagian kedua adalah kolam yang mengelilingi masjid yang disebut jagang.
Bagian ketiga adalah serambi yang dibagi dalam dua bagian yakni serambi bawah dan serambi atas yang memiliki atap berbentuk limasan.
Bagian keempat adalah bagian induk masjid yang dibagi dalam dua bagian, yakni bagunan utama (liwan) dan bagian kedua adalah ruang pada sisi selatan Liwan yang dinamakan pawestren yang menjadi ruang khusus bagi jemaah perempuan.
Dan yang terakhir adalah tempat wudhu yang ada di bagian utara dan selatan masjid.
Dua Tahap Membangun
Pada masa pembangunannya Masjid ini mengalami dua tahap pembanguan.
Tahap pertama berupa pembangunan ruang inti masjid yang dibangun oleh Panembahan Senopati, dan pembangunan Serambi Masid yang dilkukan oleh Sultan Agung.
Selain membangun serambi Sultan Agung juga membangun kolam atau “jagang”.
Pada bagian depan Masjid terdapat gapura yang bercorak Hindu. Selain untuk menghormati warga sekitar yang pada saat itu masih menganut Hindu, keberadaan gapura tersebut juga untuk menarik warga sekitar agar berkunjung ke Masjid.
Selain pada depan masjid, gapura paduraksa juga berada pada sisi utara dan selatan masjid. Di halaman masjid terdapat dua bangsal pecaosan dengan atap berbentuk limasan pada sisi utara dan selatan masjid.
Di komplek masjid Gede Kotagede juga terdapat komplek makam pendiri kerajaan Mataram Islam.
Bangunan makam terdiri dari 3 bagian yaitu bagian depan disebut Prabayaksa, bagian tengah (Witana), dan bagian belakang (Tajug). Bangunan ini dikelola oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Bangunan Prabayaksa dikelola oleh keraton Surakarta, dan bangunan Witana dan Tajug dikelola oleh keraton Yogyakarta.
Di dalam bangunan Prabayaksa terdapat 64 makam diantaranya makam Sultan Sedo ing Krapyak.
Di dalam bangunan Witanan terdapat 15 makam, di antaranya makam Kyai dan Nyai Ageng Pemanahan yang merupakan cikal bakal kerajaan Mataram Islam, makam Panembahan Senopati, dan makam Ki Juru Mertani.
Di dalam bangunan Tajug hanya terdapat tiga buah makam yaitu makam Nyai Ageng Enis, makam Pangeran Joyoprono, dan makam Datuk Palembang.