TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Kuliner khas Surabaya ini merajai sajian dari gerobak dorong hingga restoran. Mari cicipi lontong balap Surabaya.
Kuahnya yang segar dan gurih berpadu sambal petis pedas menghasilkan sensasi rasa yang meriah.
Kenikmatan itu bisa dijumpai di antaranya di warung lontong balap Pak Gendut yang hadir sejak 1958. Sepiring lontong balap tersaji bersama lentho, mirip perkedel, tapi terbuat dari kacang merah.
Di piring lain terhidang sepuluh tusuk sate kerang bertabur bawang goreng.
Tak lupa disandingkan semangkuk kecil sambal petis udang Sidoarjo yang menguarkan aroma khas.
Sate kerang di Warung Lontong Balap Pak Gendut di Surabaya (Kompas/ Runik Sri Astuti)
Lontong balap termasuk kategori makanan berat sekelas nasi meski terbuat dari bahan-bahan yang sederhana, yaitu irisan lontong, tahu goreng yang dipotong-potong, dan taoge yang hanya disiram air panas.
Campuran bahan itu kemudian disiram dengan kuah bening panas. Untuk menjaga kuah tetap panas, kuali terus dipanggang di atas tungku berbahan bakar arang yang membara. Sebelum disajikan, tak lupa ditaburkan irisan daun bawang dan bawang goreng ditambah kecap manis.
Kelezatan
Komposisi bahan yang sederhana bukan berarti tak bercita rasa. Di sinilah keunikan lontong balap. Kelezatannya ditentukan oleh kuah yang bening tapi segar dan gurih, sambal petis yang pedas, serta lentho.
Ahli waris resep masakan lontong balap Pak Gendut, Aris Taufiq, mengatakan, dirinya hanya memasak bahan-bahan pilihan yang terjaga kesegarannya.
Setiap hari, putra tunggal Pak Gendut (alm) ini berbelanja bahan langsung ke pasar untuk mendapatkan bahan terbaik.
”Cita rasa lontong balap juga dipengaruhi oleh teknik atau cara memasak serta peralatan yang digunakan. Kami memilih cara tradisional meski butuh proses panjang,” ujar Aris.
Untuk menghasilkan kuah yang lezat, misalnya, tidak cukup mengandalkan kesegaran bumbu rempah, seperti bawang putih, bawang merah, garam, dan tambahan udang.
Akan tetapi, ramuan bumbu itu harus dimasak menggunakan kuali tanah untuk menjaga cita rasa.
Penggunaan bahan bakar saat memasak juga dipertimbangkan betul karena berimplikasi pada rasa masakan. Pilihan jatuh pada arang dari batok kelapa atau arang kayu dibandingkan elpiji dan minyak tanah.
Alasannya, agar aroma kuah tak terkontaminasi oleh bau gas ataupun bau asap.
Untuk melengkapi kesegaran kuah lontong balap, Aris menyediakan sambal petis udang.
Aris Taufiq melayani pembeli yang ingin menikmati lontong balap di warungnya yang berlokasi di Jalan Prof Dr Moestopo, Surabaya. (Kompas/ Runik Sri Astuti)
Tak sembarang petis dia gunakan, tetapi hanya petis dari Kabupaten Sidoarjo yang sudah tersohor. Penyajian sambal petis ini sengaja disendirikan, tidak dicampur dalam kuah, agar pelanggan bisa menyesuaikan selera pedas.
Lontong balap Pak Gendut juga terkenal berkat lentho yang murni terbuat dari kacang dan beras merah, dibumbui garam, daun jeruk, ketumbar, dan merica.
”Lentho renyah hanya jika tanpa bahan campuran tepung. Cukup haluskan semua bahan plus bumbu kemudian dibentuk bulat oval dan digoreng dalam minyak yang tidak terlalu panas supaya matang merata dan tidak pecah,” kata Aris.
Seporsi lontong balap bisa disantap dengan harga Rp 12.000. Jika ingin tambah sate kerang, cukup merogoh kocek Rp 12.000 per 10 tusuk. Sementara es degan bisa dinikmati dengan harga Rp 7.000 per porsi.
Lontong balap bisa disantap kapan pun. Itu sebabnya warung lontong balap di Surabaya biasanya buka dari pagi hingga malam hari.
Pak Gendut merintis jualan lontong balap pada 1958 di kawasan Wonokromo.
Setelah itu berpindah dan menetap sebagai pedagang kaki lima di Jalan Kranggan, tepatnya di depan Gedung Bioskop Garuda sejak 1976.
Namun, karena kerap kena gusuran satuan polisi pamong praja, Aris memutuskan pindah lokasi berjualan ke Jalan Profesor Dr Moestopo atau depan Kantor PDAM Surabaya. Pemindahan warung semata demi kenyamanan pelanggan.
Buka Cabang Karena Laris
Aris memutuskan membuka cabang di Jalan Embong Malang, di Royal Plaza, dan di Jalan Ketintang Madya. Kendati sudah masuk pusat perbelanjaan modern, lontong balap tetap menjadi makanan yang merakyat.
Alasan itulah yang membuat Aris tak berani mematok harga tinggi layaknya makanan lain yang dijajakan di food court.
”Cukup Rp 15.000 per porsi,” ucapnya tersenyum.
Memang ada beberapa versi tentang sebutan lontong balap. Aris menyebut, dulu para pedagang secara berombongan suka balapan rombong seusai berjualan.
Versi lain menyebut, para pedagang lontong berkuah bening ini suka saling pinjam alat memasak sehingga terkesan balapan jualan. Versi mana pun yang benar, barangkali tidak begitu penting.
Yang jelas dalam sepiring lontong kita bisa menemukan perpaduan cita rasa, yang boleh jadi balapan juga.... (Runik Sri Astuti)