Laporan Wartawan Tribun Bali/Cisilia Agustina dan Saiful Rohim
TRIBUN-BALI.COM, KARANGASEM - Berkunjung ke Bali rasanya kurang lengkap jika tidak berkunjung ke desa tua ini.
Jika anda gemar wisata tradisi, Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali patut menjadi satu daftar kunjungan di Bali.
Desa ini tak hanya menjaga tradisi Perang Pandan yang sudah kesohor ke seluruh pelosok dunia.
Di sela-sela perhelatan Perang Pandan, salah satu desa tertua di Bali ini juga menampilkan prosesi bermain ayunan yang menjadi warisan leluhur.
Delapan orang daha (wanita) Desa Tenganan dengan mengenakan kain rangrang kuning-emas, menempati setiap tempat duduk dalam ayunan tradisional dari kayu yang dipasang di halaman desa, Senin (8/6/2015).
Ayunan tradisional berbahan kayu di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Di sisi kanan dan kiri tiang ayunan, dua orang pemuda bertugas memutar ayunan yang dinaiki delapan daha sekaligus itu.
Tiga kali diputar ke arah selatan, kemudian dilanjutkan lagi dengan tiga kali putaran ke utara, begitulah sistem permainan ayunan ini.
Masing-masing harus dilakukan minimal tiga kali.
Sorak sorai para pengunjung pun terdengar.
Ada yang terpukau, ada juga yang meringis ngeri karena melihat para daha diayunkan tinggi-tinggi.
Prosesi ayunan ini dilakukan usai digelarnya Perang Pandan di hari pertama yang jatuh pada Senin kemarin.
Setelah menyaksikan Perang Pandan, warga pun berbondong-bondong melihat prosesi ayunan yang dimulai pukul 16.30 Wita.
"Ayunan ini sebenarnya sebagai simbolisme kehidupan. Yang mana hidup ini terus berputar, kadang kita ini bisa ada di atas dan ada masanya juga kita berada di bawah," ujar I Ketut Sudiastika, satu di antara enam Kelian Adat Desa Tenganan.
Meskipun hanya sebagai sebuah sarana hiburan, namun prosesi ayunan memiliki filosofi tersendiri.
Yakni tentang kehidupan yang seperti ayunan ini yang memiliki poros dan selalu berputar.
Memang melihat proses permainan ini tak biasa dan tampak cukup berbahaya, namun sejauh ini menurut Sudioastika masih aman dan di bawah pengawasan.
Prosesi ayunan ini hanya khusus dilakukan dalam ritual Usabha Sambah, pada bulan kelima yang disebut Sasih Sambah selama sebulan.
Sasih Sambah ini merupakan bulan berlangsungnya upacara-upacara adat terbesar di Desa Tenganan yang termasuk desa Bali Aga (Bali Tua).
Ayunan dipasang selama 18 hari, mulai dari 27 Mei.
Ayunan tersebut merupakan benda yang disakralkan dan tidak bisa digunakan sembarangan.
Upacara digelar setelah lima hari pemasangan.
Baru setelah itu, baik para penduduk dan orang-orang umum lainnya dapat menggunakan ayunan tersebut.
"Ayunan baru bisa digunakan usai digelar persembahyangan," ungkapnya.
Ayunan ini merupakan ayunan tua yang diwariskan secara turun temurun sebagai bentuk tradisi di masyarakat Desa Tenganan.
Meski usianya sudah tua, ayunan yang terbuat dari kayu Cempaka yang diambil dari hutan di perbukitan yang mengelilingi desa, itu tetap terlihat kokoh.
Simbol Penghormatan Kepada Dewa Indra
Sebelum prosesi ayunan, digelar tradisi Perang Pandan atau Mekare-kare.
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Dengan bertelanjang dada, kedua tangan mereka pun tak kosong begitu saja.
Tangan kanan menggenggam seikat daun pandan berduri, tangan kiri memegang perisai atau tameng dari rotan.
Selama kurang lebih tiga menit pertandingan satu lawan satu antara para teruna desa.
Mulai dari anak-anak, pemuda dewasa, hingga orang tua bergantian turun ke arena yang dikhususkan untuk menggelar Perang Pandan, Senin kemarin.
Saling mengeret tubuh lawan tandingnya, itulah yang dilakukan dalam tradisi ini.
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Tak ketinggalan, suara gamelan selonding khas Tenganan Pegringsingan, mengiringi pertandingan yang berlangsung mulai sekitar pukul 14.00 hingga pukul 16.00 Wita tersebut.
Tampak luka-luka mengenai bagian tubuh para pemuda tersebut.
Meski terasa sakit, namun mereka melakukannya dengan suka cita.
Terdengar dari sorak-sorai para pemuda dan penonton yang ada di arena.
Dan, tak ada paksaan untuk siapa yang turun untuk bertanding terlebih dahulu.
Menurut Sudiastika, Perang Pandan bukanlah sekadar ajang jago-jagoan.
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Ritual tahunan ini sebagai bentuk simbol penghormatan kepada Dewa Indra atau Dewa Perang yang dipuja masyarakat Desa Tenganan.
Dalam tradisi ini tak ada istilah menang kalah.
"Ini bukan perlombaan, melainkan bentuk ngayah kepada leluhur kami,” ujar seorang peserta, I Kadek Sulatra kepada Tribun Bali.
Bagi Sulatra, perang pandan dianggap yadnya yang paling ikhlas terhadap Tuhan, ketika mengorbankan darahnya.
”Perang Pandan ini merupakan kurban dari penganut Dewa Indra sendiri. Kalau tak dilakukan, takut ada kejadian yang tak diinginkan,” terang Kelian Desa Adat Tenganan lainnya, I Wayan Yasa.
Sambil Megibung, Luka Diobati dengan Ramuan Tradisional
"Sakit tidak terlalu sih, tapi perih," ujar Komang, salah seorang pemuda yang mengikuti tradisi tersebut, sembari melempar tawa.
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Usai pertandingan hari pertama, sambil megibung (tradisi makan bersama-sama), para pemuda ini pun diobati luka-lukanya.
Dengan menggunakan obat tradisional berwarna kekuningan, yakni racikan para daha yang telah disiapkan sehari sebelumnya.
"Obatnya dibuat dari campuran cuka, kunyit dan bahan-bahan tradisional lainnya. Sudah disiapkan para daha dari kemarin," tambah Sudiastika.
Puncak Perang Pandan akan digelar hari Selasa (9/6).
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Jika kemarin digelar di Bale Petemu Kaja, hari ini dipanggungkan di Bale Petemu Tengah.
Tak hanya oleh masyarakat Desa Tenganan, para wisatawan baik lokal Bali hingga mancanegara pun datang untuk menyaksikan tradisi setahun sekali ini.
Kemarin, ratusan umat manusia menyesaki panggung Perang Pandan, hingga ada beberapa penonton sampai pingsan.