Waktu pembuatannya pun bervariasi, ada yang bisa jadi dalam waktu tiga bulan, ada juga yang sampai setahun. Kain-kain itu dijual dengan harga mulai dari Rp 150.000 sampai Rp 500.000 ke atas.
"Kita kalau ada waktu luang saja baru bikin ini kain. Tapi kalau ada yang pesan, ya kita kejar pesanan itu. Kalau enggak ada yang pesan, kita bikin untuk diri sendiri saja," ujar Andriyani.
Ada kebiasaan sejak zaman kerajaan dulu di mana perempuan harus bisa menenun.
Kebiasaan itu pun masih dilanjutkan sampai sekarang oleh masyarakat Bima dengan menurunkan ilmu menenun ke anak-anak perempuannya. "Ini anak saya masih SD, kalau sudah SMP nanti mau saya ajari. Dulu saya mulai belajar pas umur belasan tahun," tambah Andriyani.
Perajin kain tenun Mbojo yang lain, Misbah, sudah membawa kain tenun Mbojo ke pameran UKM nasional di Gedung Smesco, Jakarta.
Menurut Misbah, harus ada yang memperkenalkan produk kain khas Bima agar bisa dikenal dunia dan budayanya tidak mati begitu saja.
Selain sebagai komoditi, kain Mbojo juga menjadi bagian dari runutan sejarah kerajaan Islam yang ada di Bima.
Pada era kesultanan sebelum tahun 1960, kain Mbojo merupakan kain yang dipakai sehari-hari oleh warga Bima.
Meski kini sudah banyak yang beralih ke hijab biasa, rimpu dari kain Mbojo sempat menjadi pakaian wajib bagi perempuan di Bima.
"Dulu kalau ada perempuan yang keluar rumah tanpa rimpu dianggap melanggar norma agama dan adat," tambah Misbah. (Andri Donall Putera)