Laporan wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Bangunan berselimutkan warna merah menyala dengan sentuhan kuning keemasan tampak mendominasi sisi Jalan TP Polem, Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Naga dan lampion yang menyembul di sana-sini menegaskan nuansa oriental.
Dekorasi ruangan dengan tema senada begitu mudah ditemukan tatkala kita menginjakkan kaki di kawasan yang dikenal dengan Kampung Pecinan itu.
Tidak hanya di rumah ibadah, tapi juga di pertokoan hingga tempat kediaman.
Kawasan ini telah didiami oleh etnis Tionghoa secara turun temurun.
Keberadaannya bercampur baur dengan pribumi yang mendiami jantung kota Banda Aceh.
Vihara Dharma Bhakti, Kampung Pecinan, di Jalan TP Polem, Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Alkisah berabad-abad yang lampau seorang bahariawan Tiongkok, Laksamana Cheng Ho merambah ke gugusan kepulauan terbanyak di dunia bernama nusantara.
Kota-kota yang disinggahinya pun berkembang menjadi pusat perdagangan.
Termasuk desa yang kini bernama Peunayong atau yang dalam bahasa lokal bermakna Peumayong (memayungi).
Kini sekitar 1.000-an kepala keluarga atau 4.000-an orang etnis Tionghoa yang berasal dari empat suku yaitu Hakka, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu menjadi jejak sang laksamana.
“Selain melalui jalur dagang, hubungan dengan pribumi juga terjalin melalui perkawinan dengan cara menjadi mualaf,” ujar Ketua Umum Hakka Aceh, Kho Khie Siong (50) sebuah perkumpulan Tionghoa lintas suku dan agama.
Kebanyakan dari mereka adalah saudagar yang bakatnya diwarisi secara turum temurun dan menjadi toke di Aceh.
Hakka, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu adalah empat suku yang dominan dan menjadi penganut agama beragam mulai Buddha, Kristen, dan Islam.