News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Aceh

Menengok Kampung Pecinan di Aceh, Jejak Laksamana Cheng Ho

Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kampung Pecinan di Jalan TP Polem, Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

Laporan wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati

TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Bangunan berselimutkan warna merah menyala dengan sentuhan kuning keemasan tampak mendominasi sisi Jalan TP Polem, Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

Naga dan lampion yang menyembul di sana-sini menegaskan nuansa oriental.

Dekorasi ruangan dengan tema senada begitu mudah ditemukan tatkala kita menginjakkan kaki di kawasan yang dikenal dengan Kampung Pecinan itu.

Tidak hanya di rumah ibadah, tapi juga di pertokoan hingga tempat kediaman.

Kawasan ini telah didiami oleh etnis Tionghoa secara turun temurun.

Keberadaannya bercampur baur dengan pribumi yang mendiami jantung kota Banda Aceh.


Vihara Dharma Bhakti, Kampung Pecinan, di Jalan TP Polem, Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)

Alkisah berabad-abad yang lampau seorang bahariawan Tiongkok, Laksamana Cheng Ho merambah ke gugusan kepulauan terbanyak di dunia bernama nusantara.

Kota-kota yang disinggahinya pun berkembang menjadi pusat perdagangan.

Termasuk desa yang kini bernama Peunayong atau yang dalam bahasa lokal bermakna Peumayong (memayungi).

Kini sekitar 1.000-an kepala keluarga atau 4.000-an orang etnis Tionghoa yang berasal dari empat suku yaitu Hakka, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu menjadi jejak sang laksamana.

“Selain melalui jalur dagang, hubungan dengan pribumi juga terjalin melalui perkawinan dengan cara menjadi mualaf,” ujar Ketua Umum Hakka Aceh, Kho Khie Siong (50) sebuah perkumpulan Tionghoa lintas suku dan agama.

Kebanyakan dari mereka adalah saudagar yang bakatnya diwarisi secara turum temurun dan menjadi toke di Aceh.

Hakka, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu adalah empat suku yang dominan dan menjadi penganut agama beragam mulai Buddha, Kristen, dan Islam.

Yayasan Hakka sendiri merupakan perkumpulan Tionghoa lintas suku dan agama.

Peunayong semakin menegaskan identitasnya sebagai Kampung Pecinan tatkala menyambut Imlek baru-baru ini.

Gapura dilengkapi lampion-lampion bergelantung memenuhi kanopi Gang Pasar Jalan WR Supratman.

Semburat warna merah menyala bertabur kuning keemasan terlihat mencolok dengan kondisi bangunan tua yang mengapit gang sempit itu.

Tulisan kanji menyisip pada puluhan lampu khas Negeri Tirai Bambu.

Di negeri asalnya Cina dan di mana pun etnis itu bermukim, lampion merupakan dekorasi wajib.

Begitu halnya dengan atraksi barongsai yang kerab mengisi hari-hari besar, termasuk memeriahkan HUT Kota Banda Aceh.

Ketika hiruk pikuk politik tak henti bergaung dan isu antar agama santer bergema.

Di jantung Kota Banda Aceh bernama Peunayong, masyarakat pribumi dengan kaum bermata sipit itu malah semakin mesra mempertontonkan kebersamaan.

Tengoklah kedai-kedai yang berjejal di kiri kanan gang milik toke Tionghoa, emperannya dipenuhi pedagang pribumi yang dulunya menempati sisi Jalan Kartini.

Jika etnis Tionghoa khusus membuka kedainya menawarkan aneka menu sarapan, maka warga pribumi memenuhi kaki lima untuk menjajakan makanan mentah berupa sayur mayur dan buah-buahan.

Di bawah kolong kanopi yang mengapit gang sempit itu, bersama mereka mengais rezeki.

Cukup memakai jasa becak motor atau bersepeda ria, para pelancong sudah bisa keliling menikmati kekhasan Kampung Pecinan ala ‘Bumi Serambi Mekkah’.

Jika ingin menginap, maka hotel kelas melati maupun wisma mulai rate Rp 150.000 bertebaran di Peunayong.

“Itu merupakan inisiatif dari Yayasan Hakka, Pemerintah Gampong Peunayong, dan Organisasi Pemuda setempat. Ide tersebut sudah lama kami wacanakan bersama Dinas Perhubungan dan Pariwisata (Disbudpar) kota Banda Aceh,” ujar Aky.

Gapura di Gang Pasar Jalan WR Supratman mencerminkan perkawinan budaya antara etnik Tionghoa dan Aceh.

Gambar naga dan payung khas Cina bersanding serasi dengan pintu dan kopiah khas Aceh.

Kesemuanya juga dalam sentuhan warna kuning keemasan berlatar merah menyala.

Simbol raja diraja dan kemakmuran dari dua budaya berbeda.

Tulisan latin berbahasa Indonesia dengan sentuhan nuansa huruf Kanji menampilkan wajah baru Peunayong.

Akulturasi budaya hingga perkawinan dengan penduduk lokal menjadi alasan dibalik lahirnya keberagaman tersebut.

Gapura ‘Cina Town, Peunayong Gampong Keberagaman’ menjadi ikon baru tempat itu. Darah baru sektor pariwisata.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini