Dalam masa pengasingannya disertai 62 orang pengikutnya, mereka berangkat dari Batavia (Jakarta) melalui Ambon dan tiba di Minahasa di Desa Kema Kecamatan Kauditan daerah pantai Timur Minahasa pada tahun 1829.
Kyai modjo dan pengikutnya pertama kali ditempatkan oleh pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema.
Selanjutnya mereka dipindahkan ke sebelah utara yaitu di Tasik Oki (Tanjung Merah).
Alasan mereka dipindahkan karena Tasik Oki adalah daerah yang berawa serta dekat dengan Gunung Klabat. Selanjutnya atas permintaan mereka, dipindahkan lagi di sebelah barat Sungai Tondano. Kemudian mereka pindah lagi ke daerah Kawak (letaknya sekarang di belakang Masjid Kampung Tegal Rejo).
Selanjutnya mereka pindah ke perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Jawa.
Perpindahan Kyai Modjo dan para pengikutnya atas pertimbangan pemerintah Belanda agar Kyai Modjo dan pengikutnya tidak dapat lagi melarikan diri.
Kyai Modjo dan pengikutnya menempati daerah hutan belukar dan berawa, namun tidak semua mereka kelola, sebagian tanah yang diberikan oleh pemerintah Belanda tersebut diambil oleh penduduk pribumi.
Kemudian berdirilah perkampungan Wulauan dan perkampungan Marawas tahun 1897.
Hal tersebut diperkuat dengan bukti sejarah bahwa pekuburan orang-orang Jawa dan Kyai Modjo beserta pengikutnya terletak di Kampung Wulauan yang berada di sebelah timur Kampung Jawa.
Dalam pengasingannya tersebut selain Kyai Modjo, terdapat pula beberapa ulama agama Islam antara lain Kyai Teuku Madja, Tumenggung Pajang, Pati Urawan, Kyai Baduran, dan Kyai Hasan Bedari.
Di Kampung Jawa Tondano sendiri saat ini merupakan tempat di mana berdomisili keturunan Kyai Modjo dan Ahmad Rifai.
Di kampung ini, penduduknya sangat lekat dengan budaya Minahasa.
Warga Jaton sangat mahir berbahasa Minahasa, yang sesekali tercampur dengan bahasa Jawa.
Kampung Jaton berada di tengah pemukiman warga nasrani.