“Walaupun mulai banyak warga yang berdatangan dan mentap di kampung Babadan, tetapi kondisi masjid Pathok Negoro tidak terurus. Pada saat itu bangunan masjid tinggal pondasinya saja, dan dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menjemur padi,” ungkap Suhari.
Bahkan pada masa PKI, bekas reruntuhan masjid Pathok Negoro Babadan akan dijadikan sebagai panggung pegelaran Ketoprak.
Pada tahun 1960-an salah seorang warga Babadan bernama Kyai Muthohar mempunyai niat untuk membangun kembali masjid peninggalan Sultan Hamengkubuwono I tersebut.
Pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
“Sebelum pembangunan ulang Masjid Pathok Negoro Babadan, Kyai Muthohar saat itu meminta izin terlebih dahulu kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dan Sultan pada saat itu mengizinkan dan ikut membantu proses pembangunan masjid,” kata Suhari. Nama Ad-Darojat sendiri berasal dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Darojatun.
Meski Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat dibangun ulang jauh setelah masa pembangunan masjid aslinya, namun bentuk khas sebagai masjid kraton masih tetap dipertahankan.
Bangunan masjid berbentuk joglo dengan empat tiang sebagai penopang bangunan dan memiliki atap berbentuk tumpang.
Karena latar belakang sejarah, antara warga Babadan dengan Babadan Baru Kentungan meski terpisah secara geografis namun tetap terjalin hubungan yang harmonis.
Setiap tahun menjelang datangnya bulan suci Ramadan, banyak warga Babadan Baru yang datang ke Babadan untuk menggelar acara tradisi nyadran ke makam leluhur mereka yang terletak di barat masjid.
Ditambahkan oleh Suhari, masjid Pathok Negoro Babadan pada awal berdirinya selain digunakan untuk tempat beribadah, juga digunakan sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta wilayah Timur.
“Dulu jika ada persoalan di masyarakat yang tidak terlalu berat akan diselesaikan oleh hakim yang disebut Qodi. Hakim-hakim tersebut ada di seluruh masjid Pathok Negoro sebagai perwakilan pemerinthan kerajaan,” terang Suhari.
Dijelaskan oleh Suhari, masjid pathok negoro selain sebagai tempat ibadah adalah sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta di sekitar wilyah masing-masing.
“Kasultanan Yogyakarta memiliki banyak masjid, tetapi yang memiliki fungsi Pathok Negoro hanya empat masjid, yaitu masjid Pathok Negoro Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan ini,” pungkas Suhari.(*)