Laporan Wartawan Sriwijaya Post, Wely Hadinata
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Objek wisata satu ini sangat terkenal di Palembang, Sumsel. Bahkan cukup populer di Indonesia dan mancanegara.
Pulau Kemaro namanya. Ini merupakan sebuah daratan yang berada di tengah-tengah perairan Sungai Musi.
Lokasinya sekitar 6 km dari Jembatan Ampera. Pulau Kemaro terletak di daerah industri di antara Pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Plaju serta Sungai Gerong.
Pulau Kemaro saat ini merupakan tempat rekreasi yang sangat terkenal di Sungai Musi.
Pulau Kemaro memiliki daya tarik yang tak kalah dengan objek wisata lainnya di Palembang.
Jika berada di Palembang, rugi rasanya tak mengunjungi sebuah daratan yang memiliki sejuta pesona.
Pulau Kemaro, Palembang. (Sriwijaya Post/Abriansyah Liberto)
Untuk menuju ke Pulau Kemaro, tentunya akses satu-satunya menggunakan perahu ketek sebagai jasa angkutan sungai yang mudah ditemui di sepanjang Sungai Musi.
Di antaranya di Dermaga Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang yang lokasinya berada di samping Jembatan Ampera.
Tarif ongkos pun tergantung negosiasi dengan pengemudi jukung atau perahu yang mangkal di Dermaga BKB.
Ongkos bervariasi mulai Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu tergantung jumlah penumpang yang naik jukung.
Lama perjalanan pun cukup menempuh waktu sekitar 20 menit dan selama perjalanan bisa menikmati riak atau gelombang arus Sungai Musi.
Menuju Pulau Kemaro juga bisa melalui akses jalur alternatif lainnya.
Yakni dari Jalan Interub Kecamatan Kalidoni Palembang yang tarif ongkosnya jauh lebih murah dari Dermaga BKB Palembang.
Pengunjung cukup menyeberangi Sungai Musi dengan jarak sekitar 150 meter dan tarif ongkos cuma sekitar Rp 20 ribu per orang untuk sekali menyeberang.
Sekilas melihat Pulau Kemaro, tidak ada yang begitu mencolok pemandangannya.
Pagoda berlantai 9 di Pulau Kemaro Palembang. (Sriwijaya Post/Abriansyah Liberto)
Namun Pagoda berlantai 9 yang berdiri kokoh, menjulang di tengah-tengah pulau.
Bangunan pagoda ini dibangun tahun 2006.
Mengitari Pulau Kemaro yang berada disebelah timur Kota Palembang dan memiliki luas kurang lebih 24 hektare, sangat identik dengan nuasana Cina.
Selain pagoda lantai 9, ada juga Klenteng atau Vihara Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im.
Di depan klenteng terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan.
Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Keberadaan sebuah Klenteng Hok Tjing Rio sebagai kuil Buddha, menjadikan Pulau Kemaro sering dikunjungi umat Buddha untuk berdoa atau berziarah ke makam.
Terutama pada saat diadakan acara Cap Go Meh setiap Tahun Baru Imlek.
Bahkan perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, merupakan perayaan teramai setelah perayaan Cap Go Meh di Singkawang Kalimantan.
Kini Pulau Kemaro menjadi salah satu obyek wisata menarik, khususnya wisata budaya dan religius di Palembang.
Setiap perayaan Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek) ribuan masyarakat China (baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina) datang berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah.
Fasilitas bungalow di Pulau Kemaro Palembang. (Sriwijaya Post/Igun Bagus Saputra)
Pohon Cinta
Yang lebih menarik lagi, tak jauh dari Pagoda 9 terdapat sebuah Pohon yang disebut sebagai "Pohon Cinta" yang dilambangkan sebagai ritus "Cinta Sejati", antara dua bangsa dan dua budaya yang berbeda pada zaman dahulu antara Siti Fatimah Putri Kerajaan Sriwijaya dan Tan Bun An Pangeran dari Negeri Cina.
Konon jika ada pasangan yang mengukir nama mereka di pohon tersebut, maka hubungan mereka akan berlanjut sampai jenjang pernikahan.
Untuk itulah Pulau Kemaro juga disebut sebagai Pulau Jodoh.
Tak heran bagi pengunjung yang datang ke Pulau Kemaro, keberadaan Pohon Cinta menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap pengunjung.
Tak terkecuali pengunjung nonetnis tionghoa.
Pulau Legenda
Legenda Pulo Kemaro adalah sebuah legenda yang mengisahkan asal mula terjadinya Pulau Kemaro di daerah Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia.
Menurut cerita, pulau tersebut merupakan penjelmaan Siti Fatimah putri Raja Sriwijaya yang menceburkan diri ke Sungai Musi hingga tewas.
Peristiwa tewasnya putra Raja Sriwijaya tersebut disebabkan oleh tindakan ceroboh yang dilakukan oleh kekasihnya bernama Tan Bun Ann, putra Raja Negeri Cina.
Alkisah, di daerah Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Sriwijaya.
Raja tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Siti Fatimah.
Selain cantik, ia juga berperangai baik. Sopan-santun dan tutur bahasanya yang lembut mencerminkan sifat seorang putri raja.
Kecantikan dan keelokan perangainya mengundang decak kagum para pemuda di Negeri Palembang.
Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena kedua orang tuanya menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.
Pada suatu hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri China bernama Tan Bun Ann untuk berniaga di Negeri Palembang.
Putra Raja China itu berniat untuk tinggal beberapa lama di negeri itu, karena ia ingin mengembangkan usahanya.
Sebagai seorang pendatang, Tan Bun Ann datang menghadap kepada Raja Sriwijaya untuk memberitahukan maksud kedatangannya ke negeri itu.
“Ampun, Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari Negeri China. Jika diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di negeri ini dalam waktu beberapa lama untuk berniaga,” kata Tan Bun Ann sambil memberi hormat.
“Baiklah, Anak Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri ini, tapi dengan syarat kamu harus menyerahkan sebagian untung yang kamu peroleh kepada kerajaan,” pinta Raja Sriwijaya.
Tan Bun Ann pun menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak itu, setiap minggu ia pergi ke istana untuk menyerahkan sebagian keuntungan dagangannya.
Suatu ketika, ia bertemu dengan Siti Fatimah di istana. Sejak pertama kali melihat wajah Siti Fatimah, Tan Bun Ann langsung jatuh hati.
Demikian sebaliknya, Siti Fatimah pun menaruh hati kepadanya.
Akhirnya, mereka pun menjalin hubungan kasih. Karena merasa cocok dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk menikahinya.
Pada suatu hari, Tan Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun, Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda untuk meminta restu. Jika diperkenankan, hamba ingin menikahi putri Baginda, Siti Fatimah,” ungkap Tan Bun Ann.
Raja Sriwijaya terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann adalah seorang putra Raja China yang kaya raya.
“Baiklah, Tan Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku dengan satu syarat,” kata Raja Sriwijaya.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.
“Kamu harus menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab Raja Sriwijaya.
Tanpa berpikir panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi syarat itu.
“Baiklah, Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan Bun Ann.
Tan Bun Ann pun segera mengirim utusan ke Negeri China untuk menyampaikan surat kepada kedua orang tuanya.
Selang beberapa waktu, utusan itu kembali membawa surat balasan kepada Tan Bun Ann.
Surat balasan dari kedua orang tuanya itu berisi restu atas pernikahan mereka dan sekaligus permintaan maaf, karena tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka.
Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua orang tuanya mengirim sembilan guci berisi emas.
Demi keamanan dan keselamatan guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut, mereka melapisinya dengan sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.
Saat mengetahui rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun Ann dan Siti Fatimah bersama keluarganya serta seorang dayang setianya segera berangkat ke dermaga di Muara Sungai Musi untuk memeriksa isi kesembilan guci tersebut.
Setibanya di dermaga, Tan Bun Ann segera memerintahkan kepada utusannya untuk menunjukkan guci-guci tersebut.
“Mana guci-guci yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann kepada salah seorang utusannya.
“Kami menyimpannya di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab utusan itu seraya menuju ke kamar kapal tempat guci-guci tersebut disimpan.
Setelah utusan itu mengeluarkan kesembilan guci tersebut dari kamar kapal, Tan Bun Ann segera memeriksa isinya satu persatu.
Betapa terkejutnya ia setelah melihat guci itu hanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk.
“Oh, betapa malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka akan merasa diremehkan dengan barang busuk dan berbau ini,” kata Tan Bun Ann dalam hati dengan perasaan kecewa seraya membuang guci itu ke Sungai Musi.
Dengan penuh harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang lainnya. Namun, harapan hanya tinggal harapan.
Setelah membuka guci-guci tersebut ternyata semuanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk.
Bertambah kecewalah hati putra Raja China itu.
Dengan perasaan kesal, ia segera melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi satu persatu tanpa memeriksanya terlebih dahulu.
Ketika ia hendak melemparkan guci yang terakhir ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga guci itu jatuh ke lantai kapal dan pecah.
Betapa terkejutnya ia saat melihat emas-emas batangan terhambur keluar dari guci itu.
Rupanya di bawah sawi-sawi yang telah membusuk tersebut tersimpan emas batangan.
Ia bersama seorang pengawal setianya segera mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci yang berisi emas tersebut.
Melihat hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak melihat keadaan calon suaminya.
Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon suaminya itu muncul di permukaan air sungai.
Karena orang yang sangat dicintainya itu tidak juga muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama dayangnya yang setia ikut mencebur ke sungai untuk mencari pangeran dari Negeri Cina itu.
Sebelum mencebur ke sungai, ia berpesan kepada orang yang ada di atas kapal itu.
“Jika ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya,” demikian pesan Siti Fatimah.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah di tepi Sungai Musi.
Lama kelamaan tumpukan itu menjadi sebuah pulau. Masyarakat setempat menyebutnya Pulo Kemaro.
Pulo Kemaro dalam bahasa Indonesia berarti Pulau Kemarau.
Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah digenangi air walaupun volume air di Sungai Musi sedang meningkat.
Demikianlah Legenda Pulau Kemaro dari daerah Palembang.