Ada hal unik mereka masuk masjid selalu membawa tas tenteng kecil berwarna-warni namun ukuran dan modelnya seragam, dalam tas tersebut ada tulisan nama, kelas, dan daerah asal. Sambil berdiri mereka menjatuhakan tas kecil tersebut.
"Blaaak......" tiap tas tersebut dijatuhakan dan pertanda ada santri yang baru masuk masjid, dan ketika saya amati didalamnya berisi alas kaki, sambil menahan tawa saya mebayangkan kalau tidak dengan cara begini mereka pasti berebut alas kaki setelah sholat selesai, bila santri diatas 5 ribu bisa dibayangkan ribetnya kalau tertukar sandalnya.
Aktivitas para santri di Pondok Modern Gontor Ponorogo (Kompasiana.com/ Nanang Diyanto)
Kira-kira jam setengah satu para santri sudah memenuhi masjid dan Kyai dan petugas khutbah masuk melewati pintu didekat imaman dan sholat jumatpun dimulai.
Saya baru ingat cerita teman saya sekantor yang rumahnya bersebelahan desa dengan Gontor ini, kalau didalam area pondok ini wajib berbahasa Arab.
Dari raut wajahnya dia bukan dari Jawa, namun kesopanan dan tindak tanduknya sudah menjadi keseharian terutama ketika menhadapi ustdad, kyai, ataupun tamu yang berkunjung.
Ketika saya perhatikan lebih seksama pada papan nama yang selalu menempel pada pakaianya, dia berasal dari Aceh, sedang 2 temannya berasal dari Maluku dan Sulawesi. Benar-benar Gontor mirip taman mini-nya Indonesia tentang asal santri yang menimba ilmu disini.
Kebetulan teman saya berasal dari Aceh, dia bisa bercakap-cakap, entah apa yang mereka bicarakan mereka begitu akrab meski baru beberapa menit bertemu, dan entah bahasa Arab atau Aceh yang mereka pakai saya blank.
Tapi ketika saya bertanya apa yang barusan dicakapkan, teman saya menceritakan dia berkampung sebelahan, dan ketika ditanya apakah ramadhan tidak pulang, dia mnejawab untuk kelasnya belum libur karena dia baru di sini sekitar setahunan, dan boleh libur Ramadhan katanya ketika masuk tahun ke 3.
Namun begitu katanya masih ribuan yang tinggal disini karena masih tergolong santri baru.
Bisa menjadi bagian dari Gontor adalah sesuatu yang luar biasa, banyak yang mengidam-idamkan remaja sebayanya untuk bisa masuk Gontor, namun rekrutmen terbatas dan seleksi yang ketat.
Beda lagi tentang cerita orang Ponorogo tentang Gontor, orang cenderung takut kalau masuk pesantren ini mahal karena di pesantren ini sudah sekalian asrama dan makannya.
Entah mahal tidaknya saya juga tidak tahu, mungkin saja kurangnya informasi sehingga rasa takut dan was was itu muncul. Maklum saja di Ponorogo ada ratusan jenis pesantren, namun rata-rata masih pesantren tradisional dimana nyantri tidak sekalian makannya, hanya disediakan tempat tidur ala kadarnya, bahkan gratis. (ceritanya pada tulisan berikutnya).
Kalau boleh saya katakan pondok pesantren ini merupakan pesantren tradisional yang sudah modern, artinya pondok pesantren tradisional yang sudah dikelola secara modern, baik sistem pengajaran, sistem administrasi, maupun sistem jaringannya.
Karena jarang sekali pondok pesantren yang mempunyai cabang dimana-mana seperti Gontor ini, misal ada yang di daerah Madusari, daerah Siman, bahkan yang di Ngawi khusus santriwati, di Magelang, di Kediri, malah juga buka cabang di Poso Sulawesi.