Warga dari tiga kabupaten serta dari belahan Aceh lainnya mengalir ke Lapangan Blang Babengka, Kecamatan Pegasing. Tempat acara dihelat.
Tak tanggung-tanggung perayaan hari jadi selama sepekan itu membuat para penontong memilih untuk bermalam di kota itu.
Menjelang babak final atau memasuki hari kedua terakhir, arena akan menjadi lautan manusia.
Aksi joki cilik saat memacu kuda di Takengon Aceh. (Dok Disbudpar Aceh)
Sementara itu setelah pembukaan, puluhan kuda langsung dipertandingkan dalam beberapa ronde dengan sistem gugur.
Sedangkan di lapangan, sebagian besar para pemilik kuda dan undangan memenuhi arena.
Di sudut lain lain ratusan pedagang memanfaatkan momen dengan menjajakan dagangannya.
“Ini merupakan pagelaran budaya rutin, tetapi tanpa pacuan kuda sepertinya Takengon tak meriah. Jumlah kuda yang diikutkan dalam perlombaan meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Ketua Panitia, Drs Amir Hamzah MM yang juga sebagai Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Aceh Tengah pada perayaan HUT ke-438 kabupaten itu, (23/3/2015).
Selain kuda dari 3 kabupaten di dataran tinggi tersebut, terdapat juga 32 ekor kuda Pordasi Aceh yang turut unjuk ketangguhan.
Amir yang juga Ketua Umum Pacuan Kuda Tradisional menyatakan untuk menambah kualitas perlombaan, pihaknya telah menunjuk tim teknis guna mengukur berat dan tinggi kuda, guna menentukan kelas yang akan diikuti.
Aksi joki cilik saat memacu kuda di Takengon Aceh. (Dok Disbudpar Aceh)
Lokasi dan Waktu
Takengon berasal dari bahasa Aceh ‘tikungan’ yang berarti kelokan.
Dinamai demikian karena untuk menuju ke kota kecil ini harus melewati tanjakan perbukitan dan menelusuri lereng-lereng gunung dengan jalan berkelok-kelok yang terjal dan curam.
Pepohonan lebat memeluk kawasan sepanjang jalan yang membutuhkan waktu sekitar 8 jam perjalanan darat dari ibu kota provinsi, Banda Aceh.
Anda tinggal menyusuri Jalan Nasional Banda Aceh-Medan, setiba di Kabupaten Bireuen lalu berbelok ke arah Kecamatan Juli yang menjadi pintu masuk ke kawasan dataran tinggi Aceh.