Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rika Irawati
TRIBUNNEWS.COM, BABAGAN - Nama Lasem mulai populer seiring booming batik yang dihasilkan warga di pesisir utara Pulau Jawa ini.
Mengenal kebudayaan dan sejarah kota lewat city tour di Lasem bisa dimulai di Desa Wisata Batik Babagan.
Tak sulit menemukan tempat ini.
Gapura besar bertuliskan informasi desa wisata berdiri megah di sisi selatan jalan utama Pantura di Lasem atau dikenal pula sebagai Jalan Daendels.
Tak jauh dari gapura, berdiri baliho peta wisata yang menunjukkan beberapa pusat batik di Babagan.
Di kawasan ini, kita bisa melihat rumah-rumah tua khas Tiongkok.
Mayoritas, milik pengusaha batik. Tak heran jika kawasan ini juga disebut pecinannya Lasem.
Pegawai Batik Tulis Sigit Witjaksono saat menyelesaikan pembuatan batik. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Kami memilih rumah batik Sekar Kencana yang berjarak sekitar 250 meter dari gapura masuk sebagai tujuan pertama.
Sekar Kencana merupakan rumah batik milik Sigit Witjaksono, yang juga tokoh Tionghoa Lasem.
Di rumah ini, Sigit memiliki sekitar 20 pegawai. Mulai pembuat pola, pembatik, juga tenaga pendukung yang memroses kain batik hingga siap jual.
"Saya sendiri yang membuat gambar, selanjutnya pegawai yang membuat pola di kain," ungkap Sigit.
Sigit Witjaksono. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Di usianya yang menginjak 86 tahun, Sigit masih sigap. Dia tak segan menjelaskan dan menunjukkan dapur pembuatan batik.
Ada pegawai yang tengah nglengkreng (proses menutup pola menggunakan malam), nerusi (menutup pola menggunakan malam di sisi dalam pola), ngelir (pemberian warna pertama), nembok (memblok motif menggunakan malam), nglorot (memasak kain agar malam luruh sehingga motif batik mulai terlihat), juga menjemur kain batik yang sudah jadi dan siap jual.
"Tidak ada batik cap di Lasem, semua batik tulis. Dibutuhkan waktu hingga satu bulan untuk menghasilkan satu kain batik. Itu sebabnya, harga batik Lasem mahal," kata penyuka keroncong dan campursari ini.
Menurut Babad Lasem karangan Mpu Santri Badra di tahun 1401 Saka (1479 M), sejarah batik Lasem erat kaitannya dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho tahun 1413.
Di babad tersebut diceritakan, anak buah kapal yang ikut melaut bersama Cheng Ho, yakni Bi Nang Un bersama istri, Na Li Ni, memilih tinggal di Binag lantaran terpesona keindahan alam Jawa.
Dari keduanya, warga Lasem belajar batik dengan motif yang dikembangkan.
Meniriskan kain batik setelah melalui proses pewarnaan. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
"Motif batik Lasem dipengaruhi kebudayaan Persia dan Tiongkok karena dulu, Lasem menjadi tempat singgah kapal dari kedua negara tersebut," ungkap Sigit.
Pria yang memiliki nama Tionghoa Njo Tjoen Hian ini menyebutkan, beberapa motif batik yang dipengaruhi budaya Tiongkok mayoritas berbentuk binatang.
Meski begitu, masing-masing memiliki makna. Di antaranya, motif burung hong, naga, kupu kupu yang merupakan lambang cinta kasih, kelelawar yang menjadi simbol banyak rejeki, rusa yang melambangkan martabat, serta kura kura simbol panjang umur.
Tentu saja, motif ini berbeda dari motif batik di Solo dan Yogyakarta.
Sigit mengatakan, batik di kedua wilayah yang pernah menganut sistem pemerintahan kasultanan tersebut lebih banyak dipengaruhi Belanda.
"Itu sebabnya, motif batik di Solo dan Yogyakarta geometris. Sementara di Lasem, lebih bebas dan warnanya lebih cerah, seperti warna kesukaan orang Tiongkok," katanya.
Memilih batik Lasem. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Dalam perkembangannya, motif batik Lasem semakin kaya.
Untuk menunjukkan kedaerahan, batik Lasem memiliki tiga motif khas. Yakni, motif latohan, sekarjagad, dan kricakan.
Latohan merupakan buah atau tanaman menyerupai rumput laut yang biasanya dimasak penduduk Lasem sebagai urap.
Motif latohan sendiri berupa serangkaian buah berbentuk agak lonjong.
Sementara Kricakan atau watu pecah, terinspirasi dari pengerjaan jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 Km atau yang dikenal sebagai proyek Daendels.
Di proyek tersebut, kaum muda di Lasem diperintahkan menjadi pekerja penyedia batu pecahana.
Namun, banyak dari pekerja itu yang meninggal lantaran wabah malaria.
Sementara Sekarjagad, merupakan motif berbagai bentuk bunga yang berserakan tidak beraturan.
Sigit yang merupakan generasi kedua pembuat batik dari keluarga Njo melakukan terobosan sebagai ciri khas.
Dia memadukan motif batik yang ada dengan aksara Tiongkok.
"Kami ingin membuktikan, batik Lasem memang memadukan budaya Jawa dan Tionghoa seperti sejarahnya. Tapi, tidak sembarang aksara Tionghoa yang kami tempelkan. Harus memiliki makna," imbuhnya.
Dia mencontohkan kalimat "He Cia Phing An" yang tersemat di kain batik buatannya.
Kalimat tersebut merupakan doa yang mengandung harapan agar seisi rumah selamat.
"Biasanya, batik yang bertuliskan kalimat ini menjadi hadiah seorang anak kepada orangtua," ujar Sigit.
Membatik. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Menurut Sigit, batik kombinasi aksara Tionghoa ini disukai semua kalangan.
Bahkan, dia pernah mendapat pesanan dari pondok pesantren.
Tak sedikit pula batik buatan Sigit dipasok ke pembeli di Malaysia Singapura, Hongkong, juga Suriname.
Tak puas melihat proses membatik di Babagan, kami melanjutkan perjalanan ke sentra batik di Jalan Gedungmulyo.
Lokasi ini berseberangan dengan Sentra Batik Babagan atau di sisi utara jalur Pantura.
Satu yang menjadi jujugan pembeli adalah Purnomo Batik Art and Handicraf.
Di tempat ini, kami melihat proses pembuatan batik dan memilih-milih batik yang bisa dijadikan oleh-oleh.
"Batik Lasem memiliki warna khas abang getih pitik dan biru. Warna pesisir memang identik terang," ujar Gustav N Purnomo, pengelola rumah batik tersebut.
"Untuk warna, kami juga punya warna khas yang disebut Batik Tulis Lasem Tiga Negeri. Seperti namanya, dalam selembar kain batik ada tiga warna khas yang melambangkan tiga kerajaan di Jawa. Yakni, warna Biru sebagai lambang Pekalongan, warna Soga khas Solo, dan Merah warnah khas Lasem. Batik tiga warna biasa ada di kain batik motif klasik sehingga harganya paling mahal dan memang banyak diburu," ujar Gustav.
Menjemur batik. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Batik di Lasem dibanderol mulai Rp 600 ribu hingga jutaan rupiah. Warna dan motif batik menjadi penentu harga selembar kain batik Lasem. (*)