Laporan Wartawan Tribun Bali, Cisilia Agustina Siahaan
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Kampung Bugis, Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan merupakan satu di antara kawasan muslim di kota Denpasar, Bali.
Tak hanya dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan muslim, namun berbagai sejarah masuknya Islam di Serangan hadir di tempat ini.
Ketika berwisata ke Bali, tidak ada salahnya menengok cerita pusat kebudayaan muslim di Bali ini.
Wajah kampung muslim Bugis di Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan, Bali (Tribun Bali/ Cisilia Agustina Siahaan)
Kawasan yang memiliki lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK) ini, menghadirkan beberapa situs dan peninggalan bersejarah terkait masuknya peradaban islam pada abad ke - 17 ke Pulau Serangan.
Di antaranya adalah Masjid Assyuhada, Al-Quran Kuno, Kompleks Makam Kuno dan Rumah Adat Bugis.
“Pertama kali, dulu ada seorang tokoh, namanya Syeikh Haji Mu'min dari Ujung Pandang, yang kabur dari tempat asalnya saat zaman penjajahan VOC, makamnya pun ada di kampung ini. Menurut peneliti, berdasarkan ukiran dan apa yang tercantum di batu nisan kuburan, ada petunjuk ini telah ada sejak abad ke-17," ujar Haji Mansyur, sesepuh di Kampung Bugis Serangan kepada Tribun Bali.
Yang mana, menurut Haji Mansyur, Syeikh Haji Mu'min ini juga yang menjadi penggagas berdirinya Masjid Assyuhada, masjid tertua di Kampung Bugis Serangan.
Menurut cerita masyarakat setempat di sini, pembangunan masjid tersebut merupakan bentuk hadiah Raja Badung kepada Saehaji Mu'min, yang sukses membantunya memenangkan perang pada masa peperangan zaman dahulu.
“Waktu zaman perang dulu, Raja Badung meminta bantuan kepada Syeikh Haji Mu'min. Dan dalam peperangan itu, mereka bisa menang, yang kemudian sebagai bentuk hadiah, Raja Badung memberikan segala bantuan untuk keperluan membangun masjid ini,” tambah pria berusia 75 tahun ini.
Pemakaman Islam berusia tua di Kampung Bugis, Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan (Tribun Bali/ Cisilia Agustina Siahaan)
Awalnya, Haji Mansyur menambahkan, Syeikh Haji Mu’min hanya meminta izin dan bantuan untuk membuat mushola saja, namun Raja Badung memberikan tawaran yang lebih.
Untuk sekalian membuat masjid, yang terserah ingin sebesar apa, begitu menurut cerita yang ia dapatkan dari para leluhurnya.
Hingga saat ini, masjid tersebut pun masih berdiri kokoh.
Meskipun ada beberapa renovasi dan penambahan luas area, namun masih ada beberapa sisi yang masih asli dari zaman dahulu masjid ini berdiri.
Mulai dari kusen-kusen jendela, mimbar masjid, hingga langit-langit Masjid, menurut Haji Mansyur itu masih bertahan dari abad ke – 17 silam.
Berbagai kegiatan ibadah umat muslim Kampung Bugis Serangan dilakukan di Masjid Assyuhada.
Mulai dari sholat,pengajian, buka bersama di bulan Ramadhan, bahkan pertemuan-pertemuan terkait urusan dan kegiatan masyarakat setempat pun kerap dilakukan di Masjid ini.
Layaknya kampung-kampung di area pesisir, Kampung Bugis Serangan ini hadir dengan tampilan tradisional dan sederhana.
Salah satu bangunan Islam bersejarah yang jadi cagar budaya karena jadi saksi bisu penyebaran agama Islam di Pulau Bali (Tribun Bali/ Cisilia Agustina Siahaan)
Mulai dari warung-warung sederhana, rumah-rumah tua kosong, kebun-kebun, hingga kawanan kambing dan sapi berlalu lalang jadi pemandangan di sini.
Tak seperti masyarakat Kampung Islam Kepaon, yang mana merupakan masyarakat Bali yang memeluk agama Islam sehingga Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Bali.
Bukan Bahasa Bali, Tapi Bugis
Di Kampung Bugis Serangan, menggunakan Bahasa Bugis sebagai Bahasa sehari-harinya.
Makam Kuno Jadi Icon, Makam Pria dan Wanita Beda Bentuk Nisan
Selain Masjid Assyuhada, satu lagi yang juga menjadi icon Kampung Bugis Serangan adalah makam kuno.
Di makam inilah, khusus masyarakat muslim Kampung Bugis dimakamkan saat sudah meninggalkan dunia, mulai dari tokoh-tokoh bersejarah hingga ulama.
Dan, di sini juga terdapat makam dari Syeikh Haji Mu’min, tokoh awal lahirnya Kampung Bugis Serangan.
“Dulu anak saya mimpi, ada keluarga Syeikh Haji Mu’min datang dan memberi tahu bahwa ini punya nama, namnanya Syeikh Haji Mumin. Kemudian dicocokkan dengan cerita salah satu warga yang dari leluhurnya, yang tahu tentang Syeikh Haji Mumin,” ujar Haji Mansyur.
Didirikan paling tinggi di antara yang lain, inilah yang mienjadi pembeda makam tokoh pembawa pengaruh Islam di Serangan dibandingkan makam-makam yang lainnya.
Berdiri kokoh hingga saat ini, makam ini tersusun dari batu-batu laut.
Selain Syeikh Haji Mu’min, ada juga satu makam yang berada dalam satu bangunan menyerupai rumah kecil berdinding putih.
Dalam ruangan kecil inilah, ulama besar bernama Tuan Guru Haji Abdullah Baharudin Hakiki dimakamkan.
“Ini makam ulama besar, saya juga sempat kenal waktu masih kecil. Hanya dia ulama sampai saat ini,” ujar Haji Mansyur.
Sisanya, yang tersebar di makam kuno ini adalah makam-makam para penduduk asli Kampung Bugis Serangan.
Ada yang membedakan bagi makam pria dan wanita.
Yang mana, jika makam pria, bentuk nisannya bundar menyerupai tabung.
Sementara untuk yang perempuan, ditunjukkan dari bentuk nisan yang berbentuk agak lebih kotak.
Tak jarang, menurut Haji Mansyur, masyarakat ataupun pengunjung dari luar Kampung Bugis Serangan, bahkan para muslim dari luar negeri, datang ke makam ini.
Tujuannya untuk nyekar di sini, dan melihat-lihat keberadaan makam kuno dan mencari tahu cerita tentang sejarahnya di sini.
Selain makam dan masjid, dua peninggalan bersejarah lainnya yang diperjuangkan pelestariannya oleh masyarakat setempat adalah al-quran kuno dari abad ke - 17 dan rumah adat bugis.
Dalam gerakan “Save Cagar Budaya Kampung Bugis Serangan”, para masyarakat dari berbagai kalangan dengan solid memperjuangkan status cagar budaya yang ada di Kampung Bugis Serangan ini.
“Kami mengharapkan agar pemerintah segera mengeluarkan SK terkait penetapan status Cagar Budaya di sini. Karena di sini ada barang-barang bersejarah yang mesti dilestarikan, bukannya untuk dihancurkan atau dihilangkan,” ujar Usman, salah seorang warga dan pengurus Masjid Assyuhada di Kampung Bugis Serangan.