News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Aceh

Belajar Sejarah pada Peringatan 100 Tahun Museum Aceh: Kobarkan Nasionalisme

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas museum menjelaskan tentang lukisan taman Bustanul Salatin saat pembukaan Pameran 100 Tahun Museum Aceh, Kamis (30/7/2015).

Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati

TRIBUNNEWS.COM, ACEH – Peringatan 100 tahun Museum Aceh terasa istimewa dengan kehadiran lima museum lainnya di tanah air.


Senjata tradisional yang dipamerkan pada peringatan 100 Tahun Museum Aceh.  (Serambi Indonesia/Nurul Hayati

Menggelar pameran bersama bertajuk ‘Sejarah Perjuangan Bangsa’ dengan judul ‘Aceh Untuk Indonesia’ bertempat di Banda Aceh.

Dihelat mulai 30 Juli-4 Agustus, pameran bersama ini dibanjiri pengunjung khususnya kalangan pelajar.

Pihak museum sukses mengemas wisata sejarah menjadi destinasi wisata yang menyenangkan.

Pamerkan koleksi


Pameran bersama menghadirkan koleksi dari Museum Kebangkitan Nasional, Museum Nasional, Museum Naskah Proklamasi, Museum Sumpah Pemuda, dan Museum Benteng.


Koleksi Museum Aceh.  (Serambi Indonesia/Nurul Hayati

Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, museum yang bermarkas di Jakarta dan Yogyakarta tersebut merupakan museum yang kerap menggelar pameran bersama dengan mengelilingi Indonesia.

Memboyong koleksinya dan siap menjadi pemandu yang mengurai sejarah.

Memasuki pintu masuk gedung pameran pengunjung disambut dengan tulisan ’Sejarah Perjuangan Bangsa, Aceh Untuk Indonesia’ dalam nuansa merah-putih.

Paduan warna yang memantik nyala nasionalisme.

Memasuki ruangan sebuah stand banner besar dengan tagline dan nuansa yang sama memampang sketsa wajah para pejuang Tanah Rencong.

Sebuah frame sengaja dikosongkan agar pengunjung bisa berfota ria dan menempatkan wajahnya diapit oleh para pejuang kemerdekaan.


Seorang pengunjung melihat koleksi senjata tradisional yang dipajang di Museum Aceh.  (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)

Selanjutnya banner yang dijejalkan menempeli sisi dinding memaparkan tentang pembabakan perjuangan kemerdekaan.

“Periodisasi sengaja dibuat runut untuk menjelaskan pembabakan perjuangan kemerdekaan. Mulai dari masa penjajahan, masa kebangkitan hingga masa kemerdekaan. Indonesia dengan kekayaan alam yang dimilikinya yaitu berupa rempah-rempah membuat Belanda sangat bernafsu menaklukkan nusantara,” papar Pemandu dari Museum Sumpah Pemuda, Yadi.

Saya dan para pengunjung lainnya yang kebanyakan adalah pelajar SD, SMP, dan SMA manggut-manggut dan mendengar cerita yang meluncur dari mulut sang pemandu.

Masa penjajahan

Yadi terdengar fasih dan bersemangat membeberkan kisah heroik para kesuma bangsa.

Mulai dari dahsyatnya perang Aceh yang berkecamuk hingga menempatkan provinsi di ujung barat Indonesia sebagai daerah modal.

Masa penjajahan Belanda dengan mendirikan Persekutuan Hindia Belanda atau yang dikenal dengan nama VOC menimbulkan gejolak perlawanan rakyat.

Aceh menjadi satu-satu daerah yang tidak berhasil ditaklukkan dan memberi pelajaran pahit bagi penjajah.

Aceh yang dikenal sebagai muslim yang taat mengobarkan semangat juang perang sabil yang menempatkan perlawanan bukan sebatas perang membela tanah air, melainkan perang membela agama.

Belanda harus menghabiskan banyak waktu dan menggelontorkan banyak uang termasuk merelalakan empat jenderalnya tewas.

Penjajah yang frustasi hingga melabeli dengan sebutan ‘Aceh gila’ kemudian mengubah taktik perang dengan mengirim seorang antropolog, Snouck Hugronje untuk belajar Islam ke tanah Arab guna menyelami kultur dan karakter orang Aceh.

Penjajah yang licik menerapkan politik devide et impera sehingga akhirnya bisa menancapkan kekuasaanya di Aceh, benteng terakhir pertahanan.

Setelah perang Aceh usai, penjajah leluasa menunjukkan taringnya dengan mengekspolitasi sumber daya alam Indonesia dan membuat rakyat di tanah terjajah melarat.

Hal itu menuai reaksi dari kaum humanis di negerinya sendiri sehingga memaksa Belanda menerapkan politik etis.

Sebuah kebijakan yang akhirnya menjadi pukulan telak bagi Belanda dengan lahirnya kaum terpelajar.

Masa Kebangkitan


Masa kebangkitan ditandai dengan keberadaan School Tot Opleiding Van Inlandscape Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran Bumiputera.

Peresmian sekolah pada 1 Maret 1902 oleh pemerintah Belanda atas dasar politik etis menjaring putra putri bangsawan dari berbagai daerah di nusantara.

Para kaum terpelajar muda pribumi lintas suku dan agama itu lantas mendirikan Boedi Oetomo yang banting stir membalikkan strategi perlawanan dari perang fisik menjadi perang pemikiran.

Perkumpulan Boedi Utomo memantik lahirnya perkumpulan lain seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Indische Partij.

Mengganti perlawanan yang mulanya bersifat kedaerahan menjadi sebuah gerakan nasional.

Sebuah gerakan pemuda yang menggoyang pemerintah penjajah.

Masa kemerdekaan

Pada 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

Mulanya kedatangan Jepang disambut sukacita karena dianggap sebagai pahlawan yang membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah.

Pemerintah Pendudukan Jepang lantas membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian berganti menjadi Panitia Persiapan Kemederkaan Indonesia (PPKI) di bawah Soekarno.

Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu.

Kabar itu terdengar ke telinga golongan pemuda yang kemudian membuat skenario agar Indonesia segera mengumumkan kemerdekaannya.

Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di Jakarta disambut sukacita oleh seluruh rakyat dan beritanya tersebar luas ke seluruh penjuru tanah air.

Tak lama usai eforia tersebut tentara sekutu datang untuk mengultimatum rakyat agar mengembalikan sejata rampasan di Surabaya sekaligus melucuti senjata tentara Jepang di Jakarta.

Keadaan memaksa pemerintah memindahkan pusat ibukota ke Yogyakarta.

Perundingan Linggarjati tidak menyurutkan nafsu Belanda dalam melancarakan agresi militer I dan II ke seluruh wilayah RI.

Hal itu memaksa TNI mundur sambil melakukan taktik bumi hangus.

Agresi militer Belanda mendapat reaksi keras dari dunia internasional yang akhirnya melahirkan perundingan Renville.

Di tengah situasi genting itu, rakyat Aceh menyumbangkan dana untuk pembelian pesawat Dakota G-47 yang diberi nama Seulawah RI 001.

Termasuk segera menghidupkan kembali Radio Rimba Raya.

Di tengah situasi kritis itu rakyat Aceh menunjukkan loyalitas dan totalitas sebagai patriot bangsa sekaligus mewakafkan diri sebagai mujahid dalam perang fi sabilllah.

Agresi militer Belanda II tak mencapai target lantaran sebelum ditawan Soekerno sudah memberikan mandat kepada Mr Syafruddin Prawira Negara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat.

Panglima besar Soedirman memberikan instruksi kepada TNI untuk mengempur Belanda di Yogyakarta pada 1 Maret 1949.

Berita kemenangan TNI itu diketahui dunia internasional dan membuat Dewan Keamanan PBB mendesak mengadakan perundingan yang dikenal dengan nama Perundingan Roem-Royen.

Perundingan itu melahirkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan keputusan penting yaitu, diakuinya kedaulatan pemerintah RIS oleh Belanda pada 27 Desember 1989.

Selanjutnya pada 25 Agustus 1950 parlemen dan senat RIS mengesahkan UUDS NKRI dan melantik Soekarno dan Mohamad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden RI.

Demikianlah. Bangsa ini sudah melalui babak-babak perjuangan sebelum menjelma seperti sekarang.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Mengunjungi museum ibarat menghidupkan kembali nyala nasionalisme.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini