TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Bubur gudeg Mbok Kedul tersimpan dalam kenangan wong Solo.
Nina Akbar Tandjung dan Iga Mawarni, putri-putri Solo yang kini tinggal di Jakarta, masih sering menyantap santapan yang dijual sejak lebih dari 50 tahun silam tersebut.
Di tengah banyaknya kuliner di kota itu, Mbok Kedul bertahan dengan keotentikan rasanya.
Nina Akbar Tandjung dan penyanyi Iga Mawarni mengakui punya ikatan emosi dengan rasa bubur gudeg Mbok Kedul di Jalan Slamet Riyadi, sekitar 100 meter ke arah timur, dari Stasiun Kereta Api Purwosari, Solo, Jawa Tengah.
Warung Mbok Kedul menghidangkan menu bubur gudeg, nasi gudeg, ketan bubuk/juruh, dan lontong opor dari Mbok Kedul.
”Buburnya gurih, kekentalannya pas, gudegnya tidak terlalu manis, jadi mantap sama buburnya,” begitu memori rasa Iga mencatat bubur gudeg Mbok Kedul.
”Ketan bubuk dele-nya enak banget. Saya suka pesen dan saya bawa ke Jakarta itu masih enak,” kata Nina Akbar Tandjung.
Dulu bubur gudeg, nasi gudeg, ketan, dan lontong opor, dikonsumsi warga sebagai sarapan sehari-hari. Mbok Kedul dulu menjajakan bubur gudeg keliling kampung, dengan menggendong dagangan di punggung.
Sampai pada suatu ketika dia manggrok atau menetap di suatu tempat. Tidak diketahui persisnya sejak kapan Warung Mbok Kedul menetap di Jalan Slamet Riyadi, jalan utama di Solo.
Yang pasti, Nina Akbar Tandjung (55) sejak kecil sudah sarapan bubur gudeg Mbok Kedul di tempat tersebut.
Yang empunya nama, Mbok Kedul, meninggal tahun 1974. Setelah itu warung dilanjutkan Ibu Latip, yang juga sudah meninggal. Kini pengelolaan usaha ditangani L Sri Untari Widodo (76).
”Saya masuk sini tahun 1963. Saya ini menantu Mbok Kedul. Ibu Latip itu kakak dari suami saya,” kata Untari menjelaskan hubungan kekerabatannya dengan Mbok Kedul.
Dapur Warung Mbok Kedul, bagian dari otentisitas rasa. (KOMPAS/FRANS SARTONO)
Berganti tiga lapis generasi, Warung Mbok Kedul tetap setia dengan hidangan khasnya.
Salah satunya bubur lemu, yaitu bubur dari beras yang dimasak dengan santan.
Bubur disajikan bersama gudeg, opor ayam, telur bebek, dan sambal goreng krecek atau cecek, kata wong Solo.
”Saya pakai ayam jawa (kampung), dan telur bebek,” kata Sri Untari.
Nasi gudeg menggunakan kelengkapan serupa bubur. Gudeg Mbok Kedul cenderung gurih.
Tidak terlalu manis seperti kesan yang selama ini menempel di gudeg yogya.
”Gudeg solo memang tidak terlalu manis. Gudeg setelah digodok, lalu ditiris dulu, terus di-adang lagi, tanpa santan, tanpa moto (vetsin),” kata Untari.
Lontong opor juga dihidangkan dengan opor ayam, telur bebek, dan sambal goreng krecek, tanpa gudeg tentu.
Plus taburan bubuk kedelai.
Tentu ada berbagai pilihan cara untuk menikmati bubur gudeg, sesuai selera.
Salah satunya adalah bubur disantap panas-panas.
Tentu saja dengan terlebih dahulu meniup-niup permukaan bubur agar tidak terlalu mongah-mongah alias terlalu panas di mulut.
Dalam kondisi antara panas dan hangat itulah, bubur gudeg mengeluarkan sensasi rasa gurih-gurih mantap.
Sambal goreng krecek yang tidak terlalu pedas memberi sentuhan rasa tajam.
Jika ingin mendapat tingkat kepedasan yang lebih tajam, Anda bisa mengambil cabai merah yang disertakan pada sambal goreng krecek.
Mungkin karena kehangatannya itu, bubur gudeg Mbok Kedul memunculkan semacam mitos di kalangan konsumen fanatiknya.
”Kalau ada yang masuk angin, orang makan bubur di sini, katanya, bisa sembuh. Saya sendiri enggak tahu, tetapi sejak dulu orang percaya begitu,” kata Untari.
Keotentikan
Warung Mbok Kedul dulu buka sejak pagi hingga malam.
Kini karena kemampuan fisik penjualnya, warung mulai buka pukul 13.00 sampai sekitar pukul 22.00.
Kini Mbok Kedul juga tak hanya dikonsumsi warga sebagai sekadar pengisi perut.
Ketika kuliner sudah menjadi gaya hidup, bubur gudeg, ketan bubuk kedelai/juruh, dan lontong opor hidangan Mbok Kedul menjadi konsumsi pemburu rasa dan keotentikan jajanan rakyat.
Keotentikan itulah yang menjadi kekuatan Mbok Kedul.
Keotentikan tersebut dijaga antara lain dengan mempertahankan nama Mbok Kedul. Resep juga sesuai yang digunakan Mbok Kedul sejak awal.
Bubur gudeg. (KOMPAS/FRANS SARTONO)
Begitu juga cara memasak bubur yang tetap menggunakan kuali dari bahan tanah liat.
Setelah masak, kuali itu pula yang digunakan sebagai tempat bubur.
Kuali dari tanah liat tersebut, menurut Untari, memberi sentuhan rasa khas pada bubur Mbok Kedul.
Dalam sehari, Mbok Kedul memasak bubur dua kali, yaitu pukul 13.00 ketika warung buka dan kuali kedua dihidangkan pada pukul 17.00
Menghadapi perubahan gaya hidup itu, Mbok Kedul tidak lantas berupaya sok ”memodernkan” diri.
Dia tetap bersahaja, apa adanya. Warung Mbok Kedul menempati ruang berukuran selebar 13 tegel ukuran 20 sentimeter, atau sekitar 2,5 meter lebih sedikit.
Ukuran panjang warung sekitar 8 meter.
Di sana disediakan sejumlah meja bagi penyantap untuk menikmati hidangan.
Hidangan ditempatkan di bagian depan warung dalam ruang kaca.
Pembeli bisa memesan dari depan kaca atau masuk ke dalam.
Adapun Untari duduk menghadap hidangan untuk meracik hidangan.
Ia dibantu asisten untuk melayani konsumen, serta sejumlah pekerja di dapur.
Dapur yang cukup luas terletak di bagian belakang warung.
Dapurnya terbilang masih ”konvensional” dengan jelaga hitam di sana-sini.
Maklum, Warung Mbok Kedul menggunakan arang.
Mengapa tidak menggunakan kompor gas? ”Wah medeni. Akeh lola-laline (menakutkan karena bisa lalai),” kata Untari.
Bisa dikatakan, dapur ini merupakan bentuk keotentikan lain dari Warung Mbok Kedul, yaitu kesederhanaan.
Kebersahajaan yang justru memberi cita rasa yang membekas di memori rasa penikmatnya. (Frans Sartono)