News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Travel Story

Cerita Susah Payah Perjalanan Memanjat Gunung Anak Krakatau Hingga Sampai Puncaknya

Editor: Agung Budi Santoso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menunggang kapal motor berkapasitas 30-35 orang, menyusuri Selat Sunda, menuju Gunung Anak Krakatau.

Laporan Reporter Tribun Lampung Heru Prasetyo

TRIBUNNEWS.COM, BANDAR LAMPUNG - Mendapatkan kesempatan mengunjungi Gunung Anak Krakatau adalah kesempatan yang sayang untuk dilewatkan.

Pasalnya, hanya sedikit orang Indonesia yang dapat menjejakkan kaki di gunung yang pernah mengguncangkan dunia dengan letusan dahsyatnya tahun 1883 silam.

Sabtu (29/8) lalu, kesempatan itu pun datang kepada Tribunlampung.co.id. Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengundang Tribun sebagai peserta Tur Krakatau yang menjadi bagian dari Festival Krakatau XXV tahun 2015.


Sejumlah awak media berpose sesaat setelah berhasil mencapai Gunung Anak Krakatau.

Napak tilas berbalut tur ini memang menjadi acara rutin yang dihelat oleh pemerintah setempat.

Selain mengenalkan sejarah Gunung Krakatau, kegiatan ini merupakan sebuah promosi pariwisata kepada khalayak luas.

Hal itu dapat dilihat dari komposisi peserta yang turut menggandeng komunitas blogger.

Tur Krakatau sendiri mengambil titik awal di Lapangan Korpri, Kompleks Gubernur, Teluk Betung.

Total terdapat 400 peserta yang mengikuti gelaran tur yang direncanakan berangkat pada pukul 06.00 WIB.

Sayang seribu sayang, jadwal yang dibuat mesti dilanggar panitia karena peserta baru dapat berangkat pukul 06.30.

Untuk dapat menuju ke Gunung Anak Krakatau, dari Lapangan Korpri peserta diajak menumpang bus pariwisata dengan jumlah kursi 52 orang tiap busnya ke dermaga Grand Elty Krakatoa, di Kalianda.

Total terdapat delapan bus yang disediakan panitia untuk mengantar peserta.

Dari Bandar Lampung ke Grand Elty Krakatoa setidaknya dibutuhkan waktu selama kurang lebih dua jam dengan menyesuaikan kondisi lalu lintas yang ada.

Dari sini, perjalanan dalam rangka Tur Krakatau terbilang berjalan dengan baik. Sebab bus yang digunakan termasuk dalam bus wisata yang memiliki standar tinggi.

Tempat duduk yang empuk meski jarak antar kursi depan amat sempit, pendingin udara yang berfungsi dengan baik, musik dan karaoke.

Bukan itu saja, laju bus pun nyaman, lubang yang menghias jalan lintas seolah tidak dirasakan penumpang.

Dua jam perjalanan, akhirnya peserta tiba di Grand Elty Krakatoa pada pukul 08.00.

Panitia memberikan perintah untuk segera merapat ke dermaga dan melakukan registrasi ulang untuk mencocokan penempatan peserta sesuai kapal.

Namun rupanya kebijakan ini tak berjalan maksimal, panitia kewalahan karena peserta terlaju ingin naik kapal. Jadi 10 kapal motor sederhana berpenumpang maksimal 30-35 orang langsung dijejali penumpang.

Menariknya, perjalanan laut peserta Tur Krakatau didukung dengan cuaca yang bersahabat.

Ombak begitu tenang mengayun-ayunkan kapal.

Sesekali ada saja ombak satu dua meter, namun menurut kapten kapal ombak tersebut tidak menjadi masalah di laut.

Tapi tetap saja, bagi peserta yang tidak kuat dengan perjalanan laut, mabuk laut menjadi suguhan utama.

Beberapa peserta, khususnya perempuan terlihat murung menahan mual dan muntah walau telah dicekoki obat mausk angin.

Tapi satu catatan yang perlu diperhatikan bagi anda yang ke depan bisa saja menjadi peserta Tur Krakatau, Jangan sekali-kali duduk di dalam kapal bersama mesin kapal. Mengapa?

Dijamin kemempuan pendengaran anda akan berkurang karena bisingnya mesin amat menyakitkan telinga.

Apalagi ini perjalanan jauh.

Ada baiknya anda duduk di bagian muka kapal atau bagian kapal sekalian.

Jangan lupa, gunakan sunblock untuk menjaga kulit dari paparan sinar matahari yang menyengat kulit. Anda juga bisa menggunkan pakaian tangan panjang agar lebih nyaman.


Gunung Anak Krakatau dari kejauhan tampak menyemburkan asap (Tribun Lampung/ Heru Prasetyo)

Setelah kurang lebih tiga jam lebih di kapal, peserta akhirnya menyentuh garis pantai Gunung anak Krakatau pada pukul 12.00. Disinilah kebingungan dan miss koordinasi peserta dan panitia terjadi.

Seusai peserta turun dari kapal, tidak ada komando dari panitia yang memberikan arahan agar peserta harus kemana.

Peserta juga tampak bingung.

"Aneh, kita didiemin enggak ada arahan gitu, berasa dilepas aja," ungkap seorang peserta.

Akhirnya peserta pun mengambil inisiatif sendiri untuk berkeliling sejenak di kaki GAK dan sekedar berburu gambar.

Berfoto di prasati cagar alam Krakatau, atau sekedar mengabadikan kegiatan masyarakat Pulau Sebesi yang lalgi-lagi hanya dijadikan pelengkap oleh panitia dalam gelaran berskala nasional sebagai pemain alat musik tradisional.

Harusnya jika ada pembinaan yang baik, masyarakat Pulau Sebesi bisa diberdayakan untuk menjadi tenaga kreatif.

Pemerintah bisa saja memberikan pelatihan membuat suvenir atau lainnya.

Ini tentu akan mengangkat ekonomi mereka, bukan sekedar pelengkap yang wajib ada saat Festival Krakatau.

Setelah foto-foto, tiba waktunya untuk treking ke kepunden GAK.

Dari ratusan peserta yang menjejakkan kaki di kaki GAK, hanya puluhan orang saja yang memiliki keinginan untuk treking.

Mayoritas adalah kawula muda yang ingin selfie, ada yang pecinta alam, atau mereka yang sungguh kagum akan kemegahan GAK.

Uniknya, jika biasanya pendakian melalui jalur memutar yang lebih landai.

Pada saat Tur Krakatau ini, entah siapa yang memulai, peserta justru memilih trek sulit dan menantang yaitu langsung mengambil trek lurus.

Alhasil, butuh kemampuan fisik prima dan mental yang kuat untuk menaklukan medan yang miliki kemiringan lebih dari 45 derajat.

Hingga 45 menit kemudian, puluhan peserta sudah tiba di kepunden GAK. Keriuhan dan rona bahagia terpancar dari peserta.

Puas dan bahagia bisa sampai di titik tersebut, Menyaksikan dengan jarak yang berbilang dari puncak GAK.


Butuh perlengkapan dan perbekalan mencukupi sebelum naik ke Gunung Anak Krakatau, termasuk air mineral yang mencukupi dan sepatu yang nyaman buat mendaki (Tribun Lampung/ Heru Prasetyo)

Pemandangan dari kepunden Gak pun terlhat menawan, sebab kita bisa melihat pecahan Krakatau Purba seperti Pulau Sertung dan Pulau Rakata yang setia temani GAK.

Perjalanan yang melelahkan ini terbayar luas.

Pemandangan dan pengalaman yang didapatkan tidak bisa terbayarkan oleh rupiah.

Pengalaman menjejakkan kaki di gunung yang membuat heboh benua Eropa karena abu vulkanisnya.

Yah, Gunung Anak Krakatau memang menyuguhkan wisata alam yang tiada duanya di Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini