Laporan wartawan Tribun Medan, Silfa Humairah
TRIBUNNEWS.COM - Suasana di jalan Simpang Jodoh, Tembung Pasar VII, tidak pernah sepi, khususnya di malam hari.
Puluhan meja dengan lampu teplok berbaris menawarkan rujak yang terkenal disebut Rujak Jodoh.
Para pedagang menjajakan makanan dengan suasana romantis, pantas saja kawasan ini disebut Simpang Rujak Jodoh.
Di sepanjang jalan, pedagang hanya memanfaatkan lampu teplok sebagai penerang, sehingga penerangan tampak remang-remang di malam hari.
Pembeli yang kebanyakan haula muda pun terlihat bercengkrama menunggu rujak siap dibungkus.
Bagi yang tidak saling kenal, kenalan di sana, ada yang saling kenal bertegur sapa di sana.
Pasalnya, untuk menunggu pesanan rujak, pembeli harus rela menunggu buah dikupas, dipotong dan bumbunya diulek.
Pedagang melakukan kegiatan persiapan membuat rujak di atas meja ukuran sekitar 1x1 meter.
Sekitar setengah tinggi orang dewasa, sehingga pembeli bisa lihat langsung proses pembuatan dan kehigienisan buah.
Rujak Simpang Jodoh sudah di kenal sejak tahun 1970an. Pedagang yang menjual rujak di simpang ini, umumnya mereka adalah warga sekitar.
Penjual rujak jodoh.
Usaha rujak ini adalah usaha yang sudah turun temurun dikelola menjadi usaha keluarga masyarakat di sekitar pasar ini tersebut.
Kini kendati di sepanjang pinggir jalan sudah banyak berdiri toko dan lapak penjual pakaian dan sendal, namun usaha rujak dengan ciri khas lampu sumbu ini tetap berlangsung setiap hari, biasanya dimulai sore hingga dini hari pukul 24.00.
Tidak seperti kebanyakan penjual rujak umumnya, yang memajang buah, agar telihat segar yang diberi penyejuk es batu dalam pajangan steeling kaca, buah di Simpang Jodoh ini hanya disusun daa diletakkan di atas meja.