Laporan Wartawan Tribun Bali, Ayu Dessy Wulansari
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Memburu makanan tradisional Bali memang mudah ditemui, mulai dari pasar hingga rumah makan.
Satu di antaranya adalah Waroeng Pantjoran yang berlokasi di Jalan Tukad Pancoran, No 3, Denpasar, Bali.
Warung ini menyuguhkan masakan khas Bali yang menjadi kegemaran dari pemilik dan keluarganya.
Beroperasi sejak enam bulan yang lalu, Waroeng Pantjoran mengkhususkan diri menyajikan beragam jenis menu tradisional.
Suasana warung yang masih alami meski berada di area perkotaan menambah kesan di mana pengunjung kembali ke masa lalu.
Video by: Zaenal Nur Arifin
“Di warung ini saya mencoba untuk lebih menggali rasa tradisional dan masa lampau. Rasa yang saya dapatkan ketika saya masih kecil. Beberapa menu yang saya hadirkan dari pengalaman saya dulu dan ternyata peminatnya cukup banyak,” ungkap pemilik Waroeng Pantjoran, Ni Luh Putu Sri Wahyuni atau yang disapa Putu.
Menu yang disajikan ialah hidangan yang sebenarnya mudah didapatkan di tempat lain.
Meski begitu, Putu mencoba menghadirkan hidangan tersebut dengan caranya sendiri sehingga rasa dan varian dari masakan berbeda dari tempat lainnya.
Warung ini menyuguhkan beberapa menu berat, seperti nasi jinggo.
Ada nasi jinggo babi kecap, nasi jinggo be genyol, dan nasi jinggo ceker dengan rasa pedas.
Satu porsi nasi jinggo dipatok dengan harga Rp 10 ribu.
“Untuk nasi jinggo babi kecap, di sini saya bikin yang tidak memakai lemak atau samsam. Jadi hanya dagingnya saja. Itu juga karena ada beberapa saran dari pelanggan. Saya juga buat ada be genyol dengan lawar agar orang yang ingin makan be genyol ini tidak perlu jauh-jauh ke Baturiti atau Sading,” jelasnya.
Ayam betutu panggang (Tribun Bali/ Ayu Dessy Wulansari)
Selain nasi jinggo, ada juga tipat. Mulai dari tipat cantok yang mana bumbunya dikombinasikan dengan bumbu lotek, tipat kuah dengan tambahan ayam kampung, tipat plecing, dan tipat plecing kaplok.
Setiap jenis tipat memiliki rasa uniknya tersendiri sehingga tidak jarang, hidangan ini juga menjadi pilihan dari pengunjung.
“Tipat kuah di sini memang agak beda dengan tipat kuah yang ada pada umumnya. Saya pakai ayam kampung yang dipanggang. Karena saya asli dari Gianyar di mana terkenal dengan ayam panggang, saya coba untuk kelola dengan bumbu-bumbu yang saya bisa,” ungkap Putu.
Sedangkan tipat plecing kaplok, satu hidangan favorit juga yang mana pengunjung dapat memilih level atau tingkat kepedasan berdasarkan jumlah cabai yang diminta.
Seiring masukan dari pengunjung, tipat plecing kaplok dimodifikasi dengan menambahkan rujak kuah pindang.
Kuah pindang sendiri sebenarnya merupakan pedamping yang selalu ada dalam rujak khas Bali maupun bulung yang terbuat dari rumput laut.
Rasa asam dan asin yang berasal dari kaldu ikan ini ternyata cocok disandingkan dengan sambal plecing yang berasa pedas dan gurih.
Perpaduan rasa tersebut melebur dengan tipat lembut dan sayuran yang terdapat dalam plecing, seperti kangkung dan tauge.
Nasi jinggo babi kecap (Tribun Bali/ Ayu Dessy Wulansari)
“Ikannya saya dapatkan dari kerabat yang memang menyiapkan ikan berkualitas. Kemudian direbus sampai 1,5 jam dan saya isikan beberapa bumbu tambahan agar amis tidak terlalu terasa. Proses untuk mendapatkan kuah pindang ini juga agak lama sampai kuahnya bening,” tutur Putu.
Waroeng Pantjoran memiliki jam operasional mulai pukul 11.00-21.00 Wita dan buka setiap hari.
Meski namanya warung, namun tempatnya cukup luas dengan dua lantai dan mampu menampung hingga 70 pengunjung.
Waroeng Pantjoran juga sering dijadikan tempat berkumpul antara komunitas maupun menggelar acara tertentu, seperti arisan atau kumpul bersama keluarga besar.
Info Harga:
Nasi Jinggo Babi Kecap : Rp 10 ribu
Nasi Jinggo Be Genyol : RP 10 ribu
Nasi Jinggo Ceker : Rp 10 ribu
Tipat Cantok : Rp 10 ribu
Tipat Kuah : Rp 13 ribu
Tipat Plecing : Rp 10 ribu
Tipat Plecing Kaplok : Rp 10 ribu (*)