TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Pelukis Jeihan Sukmantoro menggelar pameran lukisan 50 Tahun Mata Hitam Jeihan, di Studio Jeihan, Jalan Padasuka, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 26 September-5 Oktober 2015.
Pameran itu sekaligus memperingati hari ulang tahun ke-77 Jeihan dan peluncuran buku bertajuk Jeihan Sang Maestro, Pemikir, Penyair, Perupa yang ditulis Jakob Sumardjo dan Mamannoor.
”Perayaan ini sebagai upaya untuk mengingat seorang empu atau maestro, pelukis utama Indonesia, yang mampu melahirkan ide yang brilian, yang memiliki kekayaan interpretasi yang luar biasa dan menambah kekayaan khazanah kebudayaan kita,” kata kurator seni rupa dan pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Mikke Susanto, Sabtu (26/9/2015).
Pameran lukisan. (Ilustrasi)
Menurut Mikke, Jeihan, yang dikenal dengan karya lukisan potret manusia bermata hitam, merupakan ide mahakarya (masterpiece) yang tercipta melalui proses kreatif.
Mata hitam tidak hanya berbicara visualisasi tentang mata orang yang menjadi hitam, baik terkait persoalan mistik maupun visualisasi semata.
Penggambaran itu juga memberi dimensi bahwa setiap manusia dalam menghadapi dunia ini tidak akan pernah mengetahui apa yang akan terjadi sejak dia lahir hingga kematiannya. Semuanya gelap.
Dari karya-karya yang dipajang dalam pameran ini, terdapat sekitar 20 lukisan spiritual.
Sebut saja, ”Syeik Siti Jenar”, ”Sultan Agung”, ”Raden Patah”, ”Maha Raja Sanjaya”, ”Sunan Kalijaga”. Ada juga lukisan yang baru dibuat tahun 2015, yaitu ”Ratu Laut Nusantara (Ibu Ratu Laut Kidul)”, berukuran 300 cm x 400 cm.
Jeihan juga memiliki visi bahwa mata manusia tidak akan mampu bertahan menatap kehidupan dunia atau jagat raya.
Manusia harus menggunakan semacam lensa kontak yang berwarna hitam, seperti kacamata yang kini banyak dipakai.
Nalar dan mistik
Menurut Mikke, Jeihan adalah sosok seniman yang bekerja dengan nalar sekaligus mistik.
Di satu sisi, Jeihan mengenyam pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sempat disebut sebagai laboratorium Barat yang sangat rasional.
Di sisi lain, dia juga tumbuh dalam dimensi kultural di lingkungan keluarga darah biru yang bermukim di tempat peristirahatan para raja Surakarta.