News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Kalsel

Rumah Adat Banjar Gajah Baliku: Kokoh Meski Berusia 150 Tahun, Penuh Simbol Tradisional Banjar

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rumah Gajah Baliku merupakan satu dari beberapa rumah adat Banjar.

Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal

TRIBUNNEWS.COM, KABUPATEN BANJAR - Rumah Gajah Baliku merupakan satu dari beberapa rumah adat Banjar.

Rumah tipe ini dulu banyak ditemui di perkampungan masyarakat Banjar, namun sekarang sudah banyak yang punah.

Hanya ada sedikit yang masih bertahan di tengah gempuran bangunan-bangunan modern.


Rumah ini berusia 150 tahun dan masih dihuni pemiliknya. (Banjarmasin Post/Yayu) 

Satu di antaranya adalah Rumah Gajah Baliku di Jalan Martapura Lama nomor 28 RT 4, Desa Teluk Selong Ulu, Kecamatan Martapura Barat, Kota Martapura, Kabupaten Banjar.

Rumah ini tampak kuno, berusia 150 tahun dan masih dihuni pemiliknya.

Pemiliknya sekarang adalah ahli waris dari pemilik rumah yang pertama, yaitu Hajjah Esah.

Keturunan Hajjah Esah yang sekarang menempati rumah ini adalah generasi kelima di keluarganya.

Di dalam rumah ini, banyak ditemui perabotan kuno seperti baki kuningan, baskom kuningan, guci, piring malawin berbahan porselen, lukisan kincir angin hingga peti berbahan kayu jati dan koper kuno.

Perabotan modern yang tampak ada di rumah bahari ini hanya televisi, radio, DVD player serta kompor gas.


Pemiliknya sekarang adalah ahli waris dari pemilik rumah yang pertama, yaitu Hajjah Esah. (Banjarmasin Post/Yayu)

Seluruh rumah ini berbahan kayu ulin.

Memasuki pelatarannya, disambut oleh pintu masuk yang penuh ukiran.

Ruang tamunya tampak luas dan lega, dilengkapi beberapa kursi dan meja kayu serta perabotan-perabotan kuno tersebut di atas.

Di dindingnya tampak foto-foto bahari milik penghuni rumah dan surat keputusan dari Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan tentang penetapan rumah ini sebagai salah satu situs cagar budaya.

Agak ke belakang lagi, ada ruangan yang dipenuhi perabotan seperti tempat tidur, kelambu, tantaran atau tempat menggantungkan baju bagi pengantin baru orang Banjar serta beberapa gelas kaca klasik.

Di bagian bawah atapnya, ada celah mirip loteng yang di sekelilingnya dipagari dan berukiran.


Lukisan kincir angin Belanda.  (Banjarmasin Post/Yayu)

Menurut pemilik rumah ini, Abu Najib, tempat ini dulu merupakan wadah calon pengantin perempuan Banjar dipingit sebelum hari pernikahannya tiba.

"Di situ calon pengantin melakukan berbagai aktifitas hariannya seperti makan, tidur, menjalani ritual batimung (mandi uap), balulur (luluran), dan aktifitas lainnya menjelang pernikahannya. Sebelum hari pernikahan tiba, dia tak boleh turun dari loteng itu," jelasnya.

Rumah ini satu komplek dengan rumah adat yang satu lagi, yaitu Bubungan Tinggi yang letaknya di belakang rumah Gajah Baliku ini.

Pemilik dua rumah ini adalah ayah dan anak.

"Rumah Bubungan Tinggi itu milik orangtua Hajjah Esah, yaitu HM Arif dan Hj Fatimah. Jadi, pemilik dua rumah ini masih satu keluarga. Perabotan-perabotan kuno di rumah ini merupakan warisan dari HM Arif," jelasnya.

HM Arif dulu merupakan orang kaya di kampungnya ini.

Dia saudagar sukses yang berniaga hingga ke beberapa negara seperti India, Belanda, Singapura, Jerman, dan sebagainya.

Tak heran jika di rumah adat ini ada perabotan-perabotan produksi asing seperti piring malawin berbahan porselen bergambar gajah dari India dan lukisan kincir angin dari Belanda.

Beberapa perabotan itu kemudian diwarisi oleh putrinya, Hajjah Esah yang memiliki rumah Gajah Baliku ini.

Bagaikan sebuah cerita kilas balik, beberapa hari lalu ada seorang turis dari Jakarta yang baru saja pulang berwisata ke Belanda kemudian berkunjung ke rumah adat ini.

Rupanya di Belanda dia sempat berfoto di depan kincir angin yang gambarnya ada di lukisan warisan HM Arif itu.

Foto itu ditunjukkannya ke Abu Najib dan bangunan serta pemandangan di sekitar kincir angin itu sama persis seperti yang ada di lukisan tersebut.

"Baru tahu saya ternyata bangunan kincir angin di lukisan warisan kakek buyut saya itu hingga sekarang masih ada di Belanda sana," ujarnya.

Di dinding ruang tamunya ada ukiran-ukiran khas Banjar berupa tumbuhan seperti kangkung dan buah manggis.

Pintu, ruangan, jendela, tiang serta jeruji jendelanya jika diperhatikan memiliki jumlah yang ganjil.

Pintu depannya satu, pintu tengah tiga buah, pintu ke dapur satu dan pintu belakang satu.

Lalu jeruji masing-masing jendela ada sembilan bilah.

Jendelanya di satu bentangan dinding ada tiga buah.

Lalu ruangannya ada tiga buah, yaitu ruang tamu, ruang tengah dan dapur.

Kemudian jumlah tiang rumah keseluruhannya ada sebelas bilah.

Angka ganjil ini bukan tanpa maksud.

Dalam adat Banjar yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, jumlah ganjil dalam pembangunan rumah adatnya memiliki simbol identitas Allah SWT.

"Ada hadis Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa Allah itu ganjil dan menyukai yang serbaganjil. Jadi, jumlah ganjil di rumah adat Banjar ini maksudnya menandakan kesukaan Allah terhadap yang ganjil-ganjil," paparnya.

Kemudian, ukiran kangkung dan manggis di dinding rumah ini pun sarat dengan nuansa tradisi Banjar.

Kangkung adalah tumbuhan air yang bisa hidup di musim penghujan maupun kemarau.

Artinya, kangkung menandakan ketahanan hidup di segala musim.

Sedangkan manggis menandakan kejujuran.

Di ujung kulit manggis ada bagian kulitnya yang menonjol menunjukkan jumlah isi dagingnya.

Jika jumlahnya enam berarti isi buahnya juga enam, tak pernah salah.

"Artinya manggis itu selalu jujur, apa yang dikatakan di luarnya selalu sesuai dengan yang di dalamnya. Itu semacam filosofi hidup orang Banjar yang diungkapkan di ukiran-ukiran di rumah adatnya," bebernya.

Rumah ini sudah pernah direnovasi, namun tak pernah mengalami kerusakan yang berarti.

Rumah ini tampak kokoh dan antarbagian papannya tidak disatukan dengan paku, melainkan hanya disambungkan dengan cara dirasukkan.

Daun pintunya pun tidak berengsel, tetapi hanya menggunakan kayu yang dirasukkan ke dindingnya.

Kendati rumah ini tampak kokoh, namun di beberapa bagiannya ada yang berlubang.

Pagarnya tak lagi lengkap jerujinya, demikian juga atapnya ada yang bolong.

Walau begitu, rumah ini tampak terawat dan bersih.

Dulu, katanya, di sekitar sini banyak rumah adat Banjar namun sudah hancur dimakan usia.

Sekarang, di Desa Teluk Selong Ulu ini hanya tersisa dua rumah adat ini yang masih utuh.

Tak heran jika kemudian kedua rumah ini sangat diperhatikan kelestariannya oleh Pemprov Kalsel dengan ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 1989 silam.

Rumah ini tiap hari selalu dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah dan negara.

Pemiliknya membuka waktu kunjungan tiap hari dari pukul 08.00 Wita hingga 17.00 Wita.

Memasuki rumah ini tak dipungut biaya sepeser pun.

Wisatawan bisa dengan bebas berfoto, melihat-lihat atau bertanya-tanya tentang rumah adat Banjar ini ke penghuninya.

Akses ke rumah adat ini gampang, sering dilalui angkutan umum seperti angkutan kota dan ojek.

Jalannya pun mulus beraspal walau sempit tapi masih bisa untuk dua mobil berpapasan.

Untuk angkutan kota bisa memilih jurusan ke Desa Teluk Selong Ulu.

Naiknya dari Pasar Batuah di Martapura, tarifnya Rp 5.000 per orang.

Untuk ojek dari Martapura tarifnya Rp 10.000.

Waktu tempuhnya sekitar 30 menit.

Jika dari Banjarmasin, naik Taksi Hulu Sungai dari Terminal Induk Km 6 jurusan Martapura, turun di depan Pasar Batuah.

Dari pasar itu, tinggal melanjutkan perjalanan naik angkutan kota ke rumah adat ini.

Dari Banjarmasin ke Martapura sekitar satu jam perjalanan. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini