Mangkuk panas
Tak lama, menu utama tiba. Yang datang pertama adalah mangkuk kecil berisi kuah dan beberapa helai taoge.
Setelah itu, datang mangkuk lebih besar di atas tatakan kayu. Asap mengepul dari dalam mangkuk.
“Hati-hati, mangkuknya panas,” Han berteriak mengingatkan kami untuk tidak menyentuh mangkuk utama.
Orang Korea menyebut mangkuk itu dolsot. Artinya, mangkuk batu. Mangkuk itu isinya macam-macam. Paling atas adalah lelehan telur mata sapi setengah matang.
Di bawahnya ada beragam sayuran: timun jepang yang dipotong kecil dan halus, taoge, lobak, jamur, gosari, selada, dan rumput laut kering. Paling bawah adalah nasi putih.
Pelayan warung itu menuangkan joy sauce ke dalam mangkuk. Ia memberitahu agar kita juga mencampur sambal khas korea yang ada di atas meja.
Warung makan “Grandma Yu Bibimbap” di Bukchang-dong, Seoul, Korea Selatan (Kompas.com/ Heru Margianto)
“Jangan dimakan dulu. Semua lihat saya. Semua makanan itu harus diaduk sampai rata. Kalau kalian suka, tambahkan sambal,” kata Han sambil mengaduk seluruh isi mangkuk dengan keras. Saya teringat pengalaman saya di pesawat.
Nasi campur
Bibimbap berasal dari dua kata: “bibim” dan “bap”. Bibim artinya campur, sedang bap adalah nasi. Cara makanannya, semua bahan yang tersaji dalam mangkuk panas harus diaduk dahulu supaya rata.
Setelah semua teraduk rata, barulah disantap. Bibimbap paling enak disantap saat masih panas.
Rasanya gurih dan “nano-nano”. Sekelebat ada rasa rumput laut bercampur rempah dari sambal dengan pedas yang amat tipis. Ada juga aroma taoge yang kadang datang sebentar lalu hilang ditelan rasa yang lain.
Bibimbap adalah makan tradisional Jeonju, ibu kota provinsi Jeolla Utara.
Kerap disebut, mencampur semua makanan di dalam mangkuk merupakan bagian dari ritus kuno pemujaan leluhur masyarakat Jeonju. Ini semacam ungkapan syukur atas segala rezeki yang diterima.