TRIBUNNEWS.COM - Siapa tak kenal khasiat obat-obatan herbal dari China.
Ramuan obat yang sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu itu sudah terkenal di seluruh dunia.
Tetapi jika berkunjung ke kota Schenzen, China, berhati-hatilah jika pemandu wisata Anda mengajak mengunjungi toko obat.
Ilustrasi: Pengobatan herbal. (Shutterstock)
Toko obat herbal China di kota Schenzen yang berbatasan dengan Hongkong tersebut, bukan seperti toko obat pada umumnya.
Dari depan, toko tersebut terlihat seperti rumah biasa dan tidak tampak ada etalase yang memajang obat-obatan.
Begitu masuk, rombongan kami dari Jakarta langsung disambut oleh beberapa karyawan toko yang mengenakan jubah putih ala dokter.
Kami lalu digiring memasuki ruangan luas. Kamera tidak diperbolehkan dikeluarkan di tempat ini.
Di situ ada seorang bapak setengah baya yang oleh tour leader kami diperkenalkan sebagai seorang profesor kedokteran.
Saya tidak hapal namanya karena kuping saya tidak terlalu pintar menangkap bahasa China. Setelah itu tour leader kami meninggalkan ruangan.
Sang "profesor" lalu memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia yang dahulu kuliah di China pada tahun 1960-an dan tidak bisa kembali lagi ke tanah air.
Ilustrasi: pil herbal. (Shutterstock)
Kemudian ia mulai memberi ceramah tentang kerja organ manusia, prinsip yin-yang dan pengaruhnya bagi kesehatan.
Tidak ada hal luar biasa dari penjelasannya karena semua adalah pengetahuan umum biasa.
Setelah selesai, ia lalu meminta kami semua berpindah ruangan.
Lagi-lagi ia memberi penjelasan beberapa jenis herbal dari Tiongkok dan manfaatnya.
Sekitar lima menit kemudian, kami dipersilakan untuk berkonsultasi dengan para shinse di ruangan khusus.
Berdua-dua, kami memasuki ruangan-ruangan kecil di dalam bangunan tersebut. Di dalam ruangan tersebut shinse memberi penjelasan, dibantu seorang penerjemah, tentang penyakit.
Ia lalu "mendiagnosis" penyakit kami dengan melihat telapak kiri.
Teman saya lalu didiagnosis menderita gangguan liver dan hormonal.
Kepadanya ditawarkan obat seharga kurang lebih 400 yuan atau sekitar Rp 920.000. Teman saya menolak dengan alasan tidak punya uang.
Shinse perempuan tersebut lalu mengatakan bahwa kesehatan lebih berharga daripada uang.
"Kalau beli baju kamu pasti tidak peduli harganya, masak untuk kesehatan tidak mau keluar uang," katanya seperti disampaikan sang penerjemah.
Saya berusaha memberi kode kepada teman saya untuk tidak terbujuk.
Bukannya pelit atau tidak sayang kesehatan, tetapi selain harga obatnya sangat mahal, saya tidak percaya ada orang yang bisa mendiagnosis penyakit hanya lewat telapak tangan.
Bahkan, ia hanya melihat telapak tangan tak lebih dari lima menit, lalu hampir 20 menit menjelaskan tentang penyakit.
Karena teman saya bersikukuh tidak mau membeli, sang shinse lalu menawar obat setengah dosis dengan harga 200 yuan.
Dengan nada agak memaksa, ia lalu memberi kami potongan harga menjadi 100 yuan.
Tetapi kami bergeming. Saya dengan tegas juga mengatakan tidak berminat dengan obat tersebut.
Wajah shinse dan penerjemah itu tampak kecewa.
Dalam hati sebenarnya saya sangat takut kalau kami tidak diizinkan keluar dari ruangan tersebut sebelum membeli.
Ini karena saya pernah mendengar kalau ada toko-toko di China yang "menyandera" pembelinya sebelum membelanjakan uangnya sampai nominal tertentu.
Untunglah hal itu tak terjadi pada kami. Shinse lalu mengajak kami keluar dan mengantarkan kami ke sebuah ruangan lain.
Di sana ada etalase yang memajang barang-barang. Ia lalu menawarkan kami membeli semacam koyo untuk mengobati berbagai keluhan penyakit.
Kami tetap tegas tak akan membeli. Setelah itu kami buru-buru keluar ruangan dan kembali ke mobil.
Setelah bertemu rombongan, kami saling bertukar cerita pengalaman kami diperiksa shinse.
Sebagian besar teman kami tak ada yang terbujuk dan mengeluarkan uang.
Ternyata apa yang kami alami adalah modus lama yang dilakukan sejumlah oknum dalam industri pariwisata di China.
Seorang teman lain bercerita kalau ayahnya juga pernah "terbujuk" rayuan shinse dan membeli obat-obatan sampai puluhan juta rupiah di Schenzen.
Kalau obatnya manjur mungkin tidak apa-apa, tetapi ternyata obat itu tak memberi pengaruh apa pun.
Bahan-bahan yang dipakai dalam obat itu juga tidak jelas.
Apa yang dialami oleh saya dan rombongan saat itu termasuk dalam tur berbasis komisi.
Agen perjalanan menjual paket tur yang murah dengan harapan mendapatkan pemasukan dari komisi hasil berbelanja wisatawan.
Tak heran, wisata belanja menjadi agenda utama perjalanan tersebut.
Dalam paket tur tersebut para agen perjalanan berharap akan mendapatkan komisi yang besar dari toko-toko yang didatangi oleh rombongan turis yang dibawanya. Tentu saja jika para turis itu berbelanja.
Di China sempat terjadi fenomena zero fee tour, yaitu tur yang dijual dengan harga sangat murah sehingga terkesan tidak masul akal.
Agen perjalanan membuatkan paket tur berupa kunjungan ke toko-toko sehingga memperoleh pemasukan dari komisi.
Tak heran jika ada cerita rombongan turis disandera dan dipaksa mengeluarkan uang untuk berbelanja.
Beberapa media di China menulis komisi yang bisa didapat oleh tour leader mencapai 50 persen.
Meski praktik tur tersebut sudah dilarang oleh Pemerintah China sejak dua tahun lalu, tetapi nyatanya masih ada saja agen wisata yang nakal.
Bahkan, mungkin karena menguntungkan, praktik tersebut ditiru oleh negara-negara lain.